Thursday, November 11, 2010

Salat Asar di Aya Sophia...

Shalat Ashar di Aya Sophia

Sudah 11 kali ujicoba sepanjang 8 abad. Kesemuanya gagal. Bahkan di bawah benteng Konstantinopel itu, dimakamkan seorang mujahid yang juga shahabat Nabi; Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu anhu. Semua ujicoba itu untuk membuktikan janji Nabi dan meraih kebesaran dalam sabda beliau, “

Muhammad al-Fatih. Dialah pemenang hadits Nabi tersebut. Anak muda itu dengan sangat dramatik dan heroik menjebol ketebalan dan ketangguhan benteng legendaris Konstantinopel.

Hari Selasa siang. Saat terlihat orang-orang Kristen berjubel keluar dari Gereja Ortodoks terbesar, Aya Sophia. Nampak mereka menghela napas lega. Wajah mereka lusuh tapi tidak bisa menyembunyikan kesenangan. Pasti yang terbayang di benak mereka adalah perbandingan antara tentara mereka ketika memasuki negeri muslim yang selalu menumpahkan darah. Sementara siang itu, Muhammad al-Fatih mengumumkan di dalam gereja bahwa mereka semua dibebaskan. Tak ada yang dilukai. Tak ada yang dijadikan budak. Tak ada yang dibunuh. Bebas menentukan langkah. Boleh tetap tinggal di kota itu bersama muslimin atau pindah ke kota lain.

Hari itu tanggal 20 Jumadil Ula 857 H, tepatnya 29 Mei 1453 M. Shalat Asar adalah shalat pertama yang dilakukan di Konstantinopel tepatnya di Masjid Aya Sophia.

Hampir Saja Kemenangan Itu Sirna

Sebelum kemenangan besar itu, persiapan yang dilakukan oleh Muhammad al-Fatih sangatlah panjang dan serius. Tidak tanggung-tanggung. Dari meriam dengan berat berton-ton dibuat oleh pakar yang sengaja didatangkan dari jauh. Hingga benteng al-Fatih yang besar dan kokoh di pinggir Selat Bosphorus. Tak hanya itu, 400 kapal perang pun diproduksi di sekitar Selat Bosphorus.

Pembangunan benteng dan semua persiapan al-Fatih, sangat mengusik Konstantinopel. Mereka sangat takut dan khawatir, karena mereka tahu berhadapan dengan siapa; negeri muslim yang tidak tertandingi di dunia saat itu. Mereka pun tahu tujuan pembangunan benteng gagah dan pembuatan ratusan kapal perang itu.

Kekhawatiran yang menyeruak di hati para pemimpin Konstantinopel itu membuat mereka memutar otak. Bagaimana caranya agar muslimin menghentikan pembangunan benteng yang masih terus berjalan. Dan mereka pun menemukan jurus ampuh untuk menghentikan semua. Selalu saja jurus itu terulang sepanjang sejarah Islam. Dan selalu saja jurus itu sangat ampuh memporak-porandakan bangunan rapi dan kuat sebuah jamaah Islam. Negosiasi dunia. Ya, menjual umat dan dakwah dengan harta. Menjadi pengkhianat dakwah dan umat.

Pantas jika kemurkaan Allah bertubi-tubi kepada jenis orang seperti ini,

 “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (Qs. Al-Baqarah: 174)

4 jenis adzab yang...naudzubillah min dzalik...

Para pemimpin Konstantinopel sangat tahu harus membidik siapa. Siapa lagi kalau bukan para petinggi Kesultanan Turki Utsmani dan pemimpin tertingginya Muhammad al-Fatih. Pundi-pundi harta, perhiasan gemerlapan dalam jumlah yang sangat besar ditawarkan kepada para petinggi negeri muslim itu. Semuanya akan diberikan. Hanya dengan satu syarat: Hentikan jihad!

Nah, kesempatan itu terbuka. Kesempatan ‘manis’ untuk menjadi pengkhianat dakwah dan umat. Kalau saja para petinggi Utsmani tergiur ketika itu, maka tak akan pernah mereka meraih kebesaran yang disampaikan Nabi dalam hadits tersebut di atas.

Tetapi mereka semua adalah orang yang telah komitmen untuk menepis semua pengkhianatan terhadap umat dan memilih kemenangan mulia dari Allah. Di bawah kepemimpinan kuat dan shaleh Muhammad al-Fatih. Dan hasilnya, benteng legendaris Konstantinopel takluk dengan drama yang menakjubkan dan heroik. Kemenangan gemilang itu datang. Kemenangan yang dijanjikan Rasul 8 abad lalu hadir. Dengan dikuburnya pengkhianatan terhadap umat.

Maka kita semakin paham mengapa Rasulullah memuji al-Fatih 8 abad sebelum ia lahir, “...Panglima yang hebat...!”

Muaranya Adalah Rasulullah...

Semua keteguhan al-Fatih dan pasukannya adalah semangat besar yang bisa kita lihat pada Rasulullah. Sumber semua keteguhan. Sumber semua keteladanan.

Dakwah Islam di Mekah ketika itu, tidak bisa dibendung perkembangannya. Berbagai upaya thoghut menghentikan dakwah tidak membuahkan hasil. Bahasa lembut meminta baik-baik agar dakwah dihentikan sudah mereka lakukan. Ancaman kepada pemimpin tertinggi dakwah; Rasulullah, sudah mereka keluarkan. Hasilnya justru mengejutkan. Hanya dalam 3 hari saja, dua tokoh besar Quraisy menyatakan diri bergabung dengan barisan Rasulullah; Hamzah kemudian Umar radhiallahu anhuma. Mekah gempar!

Dakwah tidak bisa dihentikan. Maka, mereka mengeluarkan jurus jitu itu. Setelah kesepakatan rahasia di antara musuh Islam, maka jubir mereka Abul Walid Utbah bin Rabiah menghadap Rasulullah. Membawa segepok tawaran dunia.

Mari kita ikuti ‘kalimat manis’ penghancur dakwah, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya anda –sebagaimana yang anda ketahui- berasal dari keluarga yang baik, nasab yang mulia. Anda telah membawa hal baru yang menghebohkan, yang membelah kebersamaan mereka, melenyapkan impian mereka, merendahkan tuhan dan agama mereka, mengkafirkan nenek moyang mereka. Maka dengarkanlah aku, aku tawarkan sesuatu, semoga Anda bisa menerima sebagiannya."

Rasulullah, “Katakan hai Abul Walid, aku dengarkan.”

Abul Walid, “Wahai anak saudaraku, jika yang anda inginkan dari semua ini adalah harta, kita siap mengumpulkan harta-harta kami untukmu hingga anda menjadi orang yang paling berharta di antara kami. Jika nnda ingin kemuliaan, kita jadikan Anda tokoh kami dan kami tidak memutuskan masalah tanpamu. Jika anda ingin kekuasaan, kami jadikan Anda penguasa kami. Tetapi jika itu adalah gangguan yang tidak bisa anda lawan, kita carikan tabib untuk mengobati Anda. Kita akan keluarkan biaya dari harta kami hingga Anda sembuh.”

Rasulullah, “Sudah selesai hai Abul Walid?”

Abul Walid, “Sudah.”

Rasulullah, “Sekarang, dengarkan saya!”

Dan inilah jawaban Qur’ani yang menegaskan sikap Rasulullah yang tidak mungkin menjadi pengkhianat penjual dakwah.

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan. Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)." (Qs. Fushshilat: 1-5)

Nabi terus membaca ayat demi ayat hingga sampai ayat sajdah dalam surat tersebut. Nabi pun bersujud. Kemudian berkata, “Abul Walid, Anda sudah mendengar. Itulah Anda!”

Tegas sekali. Rasulullah tegas menolak negosiasi dunia untuk menggadaikan dakwah ini.

Sejarah Pasti Berulang

Kita mesti belajar langsung dari Rasulullah dan dari orang yang dipuji kehebatannya oleh Rasulullah; Muhammad al-Fatih.

Rasulullah wafat dan Madinah telah menjadi negara Islam yang kokoh. Kemenangan demi kemenangan terus diukir oleh para alumni tarbiyah Rasulullah.

Muhammad al-Fatih wafat dan kebesaran kesultanan Turki Utsmani, terutama penaklukan bersejarah benteng Konstantinopel begitu harum dan menyeruak sepanjang zaman.

Rasulullah dan al-Fatih menolak mentah-mentah negosiasi dunia. Tegas mengubur pengkhianatan dengan semua variabelnya.

Kemenangan penuh izzah pun memihak mereka. Kemenangan yang selalu dicatat harum oleh sejarah. Dan sejarah pun berulang. Nashran ‘Aziza (kemenangan penuh izzah) akan diraih oleh muslimin, manakala para petingginya tahan terhadap berbagai macam tawaran gemerlap dunia dari musuh dakwah.

Hari ini, Aya Sophia tak lagi berfungsi sebagai masjid. Kita kehilangan simbol besar kemenangan umat Islam di Turki.

Para pemimpin muslimin harus berani berkata tidak pada pengkhianatan dakwah dan umat. Agar kita bisa Salat Asar di Masjid Ayasophia. Seperti Muhammad al-Fatih.

http://www.eramuslim.com/syariah/siroh-tematik/shalat-ashar-di-aya-sophia.htm

THE LIBERATION OF CONSTANTINOPLE

Attempts to Liberate the City 

A few words which issued from the Imam of the Muslim nation with respect to the promise from the Allah, All Glory to Him, at the tongue of His messenger (s.a.w.) which made the Muslim lieutenants in different times to compete with pounding hearts to liberate this city so that they can achieve the honour of the above description which Allah has blessed them with at the tongue of His messenger. 

The first to besiege Constantinople was Mu'awiya son of Abi Sufyan during the Khilafa of 'Ali bin Abi Taleb (May Allah be pleased with him) in the year 34 (ah), he was followed by his son Yazid in 47 (ah) then Sufyan Bin Aws in 52 (ah) who was in turn followed by Salma during the Khilafa of 'Umar Ibn 'Abdul 'Aziz in the year 97 (ah). It was also besieged during the Khilafa of Hisham Ibn 'Abdul Malik in 121 (ah) and the last siege was during the Khilafa of Haroun Al Rashid may Allah have mercy on him in 182 (ah). The sieges stopped when the Islamic government began to weaken and split and became preoccupied with its enemies internally and externally until the arrival of the 'Uthmany sultans who took turns in besieging it one after the other with no result, until the blessed general came who deserved the description of the messenger (s.a.w.), this happened approximately eight centuries after the first siege. This was on the 16th of Rabee' Al Awwal in 857 (ah) when the 'Uthmany Sultan Muhammad Al Fateh May Allah have mercy with him moved against the city walls with his army of 150,000 Mujahideen who were very keen to achieve the great honour of accomplishing the blessed promise. 

However, they did not rely solely on the promise, they also underwent a complete preparation to achieve the victory. The historian Ismail Hami Danshbund, a contemporary of the sultan Muhammad Alfateh narrates: "The sultan would spend long hours every night since ascending the throne, studying the plans of the city, looking for strategic points of defence and attempting to find weak points which he could benefit from and to work on the appropriate plan to attack these points. In addition to this, the Sultan had committed to memory all the previous attempts to liberate the city, the names of their leaders, and the reasons for their failure... He would continue to discuss with his lieutenants and generals what is required for the final attack. He also ordered the engineers to build what is required to facilitate the liberation. They built large cannons which would traject numerous heavy metal balls and bombs weighing as much as three tonnes. In addition to the other heavy artillery which the sultan built himself which were used for the first time in the attack on Constantinople; which had a great effect in the liberation of the city. That was from the material end, however, on the morale end, he took with him many contemporary scholars and Imams who held authority such as Sheikh Alqourany, and Sheikh Khisrawi, who would motivate the soldiers and drive them towards Jihad... As for his enemies, as soon as he reached the walls of the Constantinople, he ordered the call of Azan for Jum`a and commenced prayer. When the Byzantines saw the hundred and fifty thousand Muslims praying behind their leader and the sound of their takbir breaking the horizon, they began to tremble in fear and worry, and their minds were defeated before their bodies. 

THE BATTLE 

After the Sultan divided and placed his army, he sent his messenger to the King of Byzantine asking him to hand over the city giving him a full guarantee of safety for its residents, their wealth, their lives, their beliefs, and their honour. The refusal of the King to do this and his declaration of war against the Muslims led to the bombardment of the city for 48 days leading to the demolishing of some of the outer walls, without reaching the inner walls. The city withstood other operations. When king Constantine realised the seriousness of the situation, he wrote to the pope who assisted him with five large ships filled with weapons, provisions, and soldiers.. leading to the increase in morale of the defenders. Their joy did not last for long however, for the next morning, they were surprised with eighty ships inside their gulf which they had blocked with heavy chains and fortified with a large force. However, the sultan through his foresight brought the ships over land by paving a path for them of six miles of large tree branches which he had embalmed with oil so that the giant ships can slide over them with their tens of thousands of soldiers.. until they were brought to the gulf waters behind the enemy defences. At the time that the ships reached the gulf, the ships of the Bizantines were flaming with the fire from the artillery of the Ottomans, despite this, Constantinople withheld one more time. 

However, the sultan persisted, and he ordered the digging of tunnels underground to use these to crawl into the city, though the early discovery of these by the Bizantines made them of no effect. 

The Military Prowess 

With the new morn, the Sultan ordered the setting up of his secret weapon which he had invented himself, which is a giant mobile tower, higher than the walls of the city accommodating hundreds of soldiers. This struck fear amongst the Bizantines leading them to believe that the Muslims were using demons in their battles. After the Muslims broke the middle walls, the defenders were able to destroy the moving towers by throwing chemicals at them. However, the resistance of the city began to weaken, while nightfall had left the Bizantines filled with fear leading them to spend their night in their churches praying their Lord to send to their aid the blue angels to save Constantinople from the Muslims. Whilst the sultan spent his night motivating his armies reminding them of the hadith of the messenger (s.a.w.), and praying for victory from Allah. 

Entering The City As soon as the new morn came, the soldiers began their general attack. The Muslims began to erect towers and ladders and to cast projectiles at the inner walls of the city. However, the forts of the city and the desperate defense of its army delayed its liberation, and thousands of Muslim soldiers fell martyrs. When the sultan saw the size of his loss, he ordered the foot soldiers to withdraw. whilst he also ordered a continuation of the bombardment until midday, when he ordered a complete attack and stirred them to this. The Muslim army attacked and some of the Mujahideen were able to enter the city, the first to enter it was the Mujahid Hasan Ulu Badi with thirty of his brothers, however, the arrows rained on them from every side, and they were all martyred, the Muslims then began to retreat, and they almost began to flee. 

The Importance of The Leader in The Battle 

At this came the essential role of the leader in the battle as the Sultan stood and spoke to his soldiers taking example from the Messenger of Allah (s.a.w.) during the battle of Uhud giving an example of bravery in a few words, saying: "My sons, here I am ready for death in the path of Allah, so whoever desires martyrdom, let him follow me. Then the Muslims followed their leader like the flood from the dam tearing down the obstacles of Kufr until they entered the city and raised therein the word of monotheism... In this manner fell the city of Heraclius which stood stubbornly in front of the Muslims for eight centuries... So they entered it erasing the Byzantine government opening the doors of Europe for the call of Islam. They recorded a white page in our history, realising the promise of the messenger of Allah (s.a.w.) as when he was asked which of the two cities would be liberated first, Constantinople or Rome, he said: "The city of Heraclius (i.e. Constantinople) would be liberated first." [Ahmad, authenticated by Al Albany]. 

By Br. Muhammad El-Halaby
http://www.istanbullife.org/liberation_of_constantinople.htm

Bersama2 Kita Lahirkan Pembuka Roma

Melahirkan Pembuka Roma @ Rom

Kita sudah bisa mengetahui sejarah yang akan diukir di masa depan. Inilah hebatnya belajar sejarah dalam Islam. Ternyata sejarah bukan hanya sebuah rangkaian frame masa lalu yang terulang hari ini. Dalam Islam, kita mengenal yang namanya nubuwwat. Nubuwwat adalah penyampaian Nabi tentang masa depan yang belum terjadi di zaman beliau.

Artinya, kita sudah bisa mengetahui dengan pasti sebuah sejarah yang akan terjadi di masa depan. Dengan pasti. Ya, pasti terjadi. Karena bersumber pada wahyu.

Hingga hari ini, masih banyak nubuwwat Rasulullah yang belum terjadi. Di antaranya sepenggal penyampaian Rasul dalam hadits ini,

Dari Abu Qubail berkata: Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Rumiyah? Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Abdullah berkata: Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Rumiyah? Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Iaitu: Konstantinopel. (HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim)

Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Adz-Dzahabi sepakat dengan al-Hakim. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata: Hadits ini hasan sanadnya. Al-Albani sependapat dengan al-Hakim dan adz-Dzahabi bahwa hadits ini shahih. (Lihat al-Silsilah al-Shahihah 1/3, MS)

Ada dua kota yang disebut dalam nubuwwat Nabi di hadits tersebut;

1. Konstantinopel

Kota yang hari ini dikenal dengan nama Istanbul, Turki. Dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks. Tahun 857 H / 1453 M, kota dengan benteng legendaris tak tertembus akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Khalifah Utsmani.

2. Rumiyah

Dalam kitab Mu’jam al-Buldan dijelaskan bahwa Rumiyah yang dimaksud adalah ibukota Italia hari ini, yaitu Roma @ Rom. Para ulama termasuk Syekh al-Albani pun menukil pendapat ini dalam kitabnya al-Silsilah al-Ahadits al-Shahihah.

Kontantinopel telah dibuka 8 abad setelah Rasulullah menjanjikan nubuwwat tersebut. Tetapi Roma, hingga hari ini belum kunjung terlihat bisa dibuka oleh muslimin. Ini menguatkan pernyataan Nabi dalam hadits di atas. Bahwa muslimin akan membuka Konstantinopel lebih dulu, baru Roma. Itu artinya, sudah 15 abad sejak Rasul menyampaikan nubuwwatnya tentang penaklukan Roma, hingga kini belum juga Roma jatuh ke tangan muslimin.

Kalau Konstantinopel perlu 8 abad untuk bisa ditaklukkan. Roma, jika dihitung dari penaklukan Konstantinopel hingga hari ini sudah berlangsung hampir 7 abad dan belum bisa dibuka oleh muslimin.

Entah perlu berapa abad sejak Konstantinopel runtuh, untuk bisa mengislamkan Roma. Yang jelas, pasti Roma akan jatuh ke tangan muslimin. Keyakinan yang telah dibuktikan secara empirik dengan jebolnya ketebalan benteng Konstantinopel.

“Penaklukan pertama terjadi di tangan pembuka dari Kesultanan Utsmani, 800 tahun setelah Nabi mengabarkan penaklukan tersebut. Penaklukan kedua akan terbukti dengan izin Allah, dan pasti!” begitu Syekh al-Albani dengan penuh keyakinan menjelaskan hadits nubuwwat tersebut dalam kitabnya al-Silsilah al-Shahihah.

Lebih jelas lagi, beliau menajamkan, “Dan tidak diragukan juga bahwa penaklukan kedua (Roma) menguatkan kembalinya khilafah rasyidah untuk umat ini.” 

Orang tua Muhammad al-Fatih, gurunya, masyarakatnya, bahkan al-Fatih sendiri tidak pernah menduga bahwa penakluk Konstantinopel itu adalah Muhammad al-Fatih.

Yang mereka semua lakukan hanyalah bermimpi kebesaran, mengukir harapan dan melakukan semua persiapan. Untuk melahirkan pembukti nubuwwat Nabi. Dan mereka telah berhasil. Kita pun seharusnya sama. Tidak ada yang pernah menduga bahwa penakluk Roma adalah generasi kita, atau anak cucu keturunan kita, bahkan mungkin dari dalam rumah kita.

Tetapi mari kita bermimpi kebesaran itu, mengukir harapan itu dan melakukan semua persiapan itu. Untuk melahirkan pembuka Roma.

http://www.eramuslim.com/syariah/siroh-tematik/melahirkan-pembuka-roma.htm
http://www.freerepublic.com/focus/news/801707/posts

Ulasan: Pembukaan Rom akan berlaku dengan dakwah, Insya Allah. Mari kita ajak umat supaya bangun bersama-sama berdakwah supaya manusia menjadi selamat dan aman.

Bersama2 Kita Membentuk Generasi Qur'ani

Membentuk Generasi Qur'ani

Kaum Mukminin seharusnya merenungkan dalam-dalam, terutama mereka yang terlibat dalam Gerakan Islam (Harakah Islamiyah) atau yang aktif dibidang dakwah. Mereka patut merenungkan, betapa Al-Qur’an mempunyai pengaruh yang sangat menentukan terhadap masa depan dakwah. Sebuah methode (minhaj) yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla secara sempurna, dan telah menuntun kehidupan manusia, sampai hari ini.

Dakwah Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, pernah menghasilkan generasi yang tidak pernah dikenal sebelumnya, yaitu generasi para Shahabat. Generasi yang memiliki ciri atau karakter tersendiri, dan mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam sejarah Islam. Nampaknya dakwah ini tidak pernah lagi menghasilan sebuah generasi seperti yang pernah dihasilkan generasi para Shahabat. 

Memang sepanjang sejarah selalu ada orang-orang besar, yang menghiasi lembaran-lembaran sejarah, tetapi mereka tidak akan pernah dapat menyamai generasi para Shahabat. Tidak pernah terjadi sepanjang sejarah, di mana berkumpul sedemikian banyaknya, pada suatu tempat dan periode, sebagaimana terjadi pada periode dakwah yang pertama, yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam.

Allah Azza Wa Jalla telah menjamin untuk memerlihara ketinggian dakwah ini, dan mengajarkan bahwa dakwah ini terus berjalan dengan tidak adanya Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Semua ini tak lain merupakan buah dari dakwah Beliau Shallahu alaihi wa sallam, yang melaksanakan dakwah selama 23 tahun, lalu Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam dijemput-Nya, dikekalkan-Nya agama ini sampai akhir zaman. Dakwah terus berjalan dengan penuh geloranya, karena telah adanya Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang merupakan warisan kekal, sepanjang zaman dan sejarah manusia.

Mengapa generasi pertama dalam dakwah ini, mempunyai karakter yang khas, dan tidak akan pernah terjadi lagi sesudahnya, karena mereka berinteraksi langsung dengan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, dan menerima wahyu (Al-Qur’an), dan mengamalkannya. Mereka mengambil Al-Qur’an sebagai sumber bagi kehidupannya. Tidak mengambil sumber dari sumber-submer yang bathil buatan manusia. Seperti digambarkan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam :

“Sewaktu Aisyah RA, ditanya tentang budi-pekerti Rasul Shallahu alaihi wa sallam, ia berkata : “Budi pekertinya adalah Al-Qur’an”. 

Al-Qur’an menjadi satu-satunya sumber bagi kehidupan mereka, menjadi ukuran, dan dan dasar berpikir mereka. Ketika itu, bukan manusia tidak memiliki peradaban di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Bukan. Justru saat itu peradaban Rom/Romawi, ilmu pengetahuan, dan hukum Romawi, yang sekarang masih menjadi ciri atau ideologi Eropah. 

Bahkan terdapat pengaruh peradaban Yunani, yang begitu kuat, di dalam kehidupan, sumber peradaban materi, yang sekarang terus mengalami dekadensi, yang menuju kehancurannya.

Mengapa generasi pertama dakwah ini, membatasi diri, dan tidak mau menerima berbagai peradaban dan pemikiran yang ada waktu, dan sudah sangat maju? Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, ingin membentuk sebuah generasi baru, yang dikenal dengan “Generasi Qur’ani”. Mereka yang benar-benar hidup dibawah naungan Al-Qur’an. Tidak hidup dibawah pengaruh atau terkontaminasi dengan peradaban Romawi dan Yunani, yang merupakan induk dari peradaban materialisme. Ada peradaban India, Cina, Romawi, Yunani, Persia, semuanya mengelilingi jazirah Arab dari Utara dan Selatan. Agama Yahudi dan Nashrani juga hidup di jazirah Arab, yang melahirkan peradaban dan budaya paganisme.

Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam membatasi para Shahabat, yang ingin membentuk sebuah generasi baru, yang akan menjadi suri tauladan, bagi seluruh umat manusia, sepanjang sejarahnya. Tidak mungkin Islam akan dapat menjadi sebuah peradaban baru, yang akan membangun kehidupan umat manusia dengan sebuah minhaj baru, yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan yang ada. Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam hanya membatasi para Shahabat dengan Al-Qur’an, dan nilai-nilai kemuliaan yang ada dalam Al-Qur’an.

Rasulullah Shallahu dengan rencananya, khususnya dalam periode ‘formatifnya’ (pembentukan), tidak memberi kesempatan kepada para Shahabat sedikitpun mereguk nilai-nilai diluar Al-Qur’an. Al-Qur’an yang Beliau terima dari Malaikat Jibril disampaikan kepada para Shahabat, dan mereka mengamalkannya dengan penuh keimanan. Karena itu, generasi pertama yang merupakan bentukan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, merupakan generasi paling mulia, generasi yang merupakan kelompok yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai ‘asy-syabiquna awwalun’ (mereka yang pernah istijabah menerima Al-Qur’an), dan istijabah terhadap dakwah Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam.

Maka, ketika itu, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam marah kepada Umar Ibn Khatthab, waktu itu melihat Umar di tangannya ada selembar buku Taurat. Beliau bersabda :

Demi Allah, seandainya Nabi Musa hidup di kalangan kamu sekarang ini, ia pasti mengikuti saya”. (HR. al-Hafiz Abu Ya’ala, dari Hammad, dari as-Syabi dari Jabir)

Generasi para Shahabat yang mendapatkan tarbiyah langsung dari Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, sebuah generasi yang unik, dan betapa mereka menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia. Mereka pula di saat bulan Ramadhan berperang menaklukkan kafir Quraisy, dan hanya dalam jumlah 300 Shahabat, melawan seribu pasukan Quraisy, dan berhasil menaklukan pusat peradaban jahiliyah, yaitu Makkah. 

Fathul/Pembukaan Makkah berlangung di saat bulan Ramadhan. Jihad para Shahabat yang pertama dalam sejarah yang agung itu, berlangsung di bulan Ramadhan. Mereka berhasil memberihkan kota Makkah, yang merupakan pusat perdaban jahiliyah, kemudian menjadi pusat peradaban tauhid, yang hanya menyembah Allah Azza Wa Jalla. Berhala-berhala yang menjadi pusat kesyirikan dibersihkan para Shahabat yang dipimpin Rasululllah. 

Tidak ada lagi kehidupan syirik yang menjadi ciri kehidupan kaum jahiliyah di sekitar Ka’bah. Kemudian, semuanya menjadi penyembah tauhid, dan hanya semata-mata menyembah Rabbul Alamin.

Ini merupakan bentuk kemenangan dari para generasi Qur’ani, yang dikenal dengan para Shahabat, dan yang hidup dibawah naungan Al-Qur’an, mendasari kehidupan dengan Al-Qur’an, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai minhajul hayah. Kemenangan generasi Shahabat melawan kaum jahiliyah Makkah, menandakan adanya era baru dalam kehidupan ummat manusia, yang sebelumnya dibelenggu peradaban jahiliyah yang menyembah berhala dan materialisme, dan telah membawa kesesatan bagi kehidupan manusia di Makkah telah berakhir. 

Al-Qur’an telah menciptakan sebuah kehidupan baru bagi bangsa-bangsa di dunia. Inilah warisan dari generasi Qur’ani yang langsung dididik oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, yang bangkit melawan berbagai bentuk penyimpangan, kesesatan dan kedurhakaan terhadap Allah Rabbul Alamin.

http://www.eramuslim.com/editorial/membentuk-generasi-qur-ani.htm

Wednesday, November 10, 2010

KeAgungan Tuhan

Insyaflah wahai manusia
Jika dirimu ternoda
Dunia hanya naungan
Untuk makhluk ciptaan Tuhan

Dengan tiada terduga
Dunia ini kan binasa
Kita kembali ke asalnya
Menghadap Tuhan Yang Esa

Dialah Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Kepada semua insan

Janganlah ragu atau bimbang
Pada keagungan Tuhan
Betapa Maha Besarnya
Kuasa segala alam semesta

Siapa selalu mengabdi
Berbakti kepada Ilahi
Sentosa selama-lamanya
Di dunia dan akhir masa

Dialah Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Kepada semua insan
Janganlah ragu atau bimbang
Pada keAgungan Tuhan.

Ayah dan Ibu

Artis: Sudirman 

Ayah dan ibu
Itulah permulaan kami
Dapatlah melihat 
bulan dan Matahari
Ahai...

Yang dikurniakan dari Ilahi
Ahai...
Ayah dan ibu lah
Mesti dihormati

Ayah dan ibu
Wali dan juga keramat
Pada mereka kita beri hormat
Ahai...
Bagilah tunjuk ajar dan
Nasihat
Supaya hidup
Supaya hidup kita akan selamat

Ulasan: Bila-bila pun akan terkedu bila mendengar dendangan di atas. Artikel yang berikut relevan dengan apa yang ada di negara kita. Kita rasa negara kita maju tetapi inikah harga kemajuan kita?

Kewajipan Kepada Ibu Bapa

Ibu bapa merupakan orang yang wajib kita hormati dan taati. Perintah mentaati keduanya jelas termaktub di dalam Quran dan Hadith. Mengecilkan hati, melawan atau mengherdik keduanya dianggap sebagai derhaka. Menderhaka kepada ibubapa adalah satu dosa besar dan tidak akan mencium bau syurga; meskipun banyak beribadat kepada Allah. Allah tidak menerima ibadat orang yang derhaka kepada ibubapa. Dalam satu hadith, Nabi Muhammad saw bersabda bahawa keredhaan Allah bergantung kepada keredhaan kedua ibubapa. Ini bermakna jika ibubapa suka kepada kita, Allah turut meredhai kita. Sebaliknya jika mereka marah dan berkecil hati kepada kita, Allah turut murka kepada kita.

Pernah seorang sahabat mengadu kepada Rasulullah tentang perangai ibunya yang suka meminta-minta kepadanya. Baginda marah dan menempelak sahabat itu dengan mengatakan bahawa bukan saja dalam harta malahan dalam dirinya sendiri ada hak kedua ibubapanya. Jelas ibubapa mempunyai hak terhadap apa saja yang ada pada kita. Sejak kita di dalam kandungan, ibu menanggung segala kesakitan dengan penuh sabar. Begitu juga setelah dilahirkan, ibu mengasuh dan menjaga kita dengan penuh kasih sayang. Jika kita sakit, ibu tidak lelap tidur. Mereka berkorban apa saja untuk kita. Tetapi setelah kita besar dan boleh berdikari, sanggupkah kita mengecewakan hatinya. Oleh kerana besarnya pengorbanan ibubapa terhadap kita, maka sewajarnyalah Allah mewajibkan kita mematuhi mereka. Ganjaran di atas layanan kita terhadap ibu bapa dibalas oleh Allah tunai semasa di dunia lagi. Contohnya, jika kita mentaati mereka, anak-anak kita akan taat kepada kita. Sebaliknya jika kita menderhaka kepada mereka, anak-anak kita akan derhaka kepada kita pula. Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Barangsiapa semasa paginya mendapat keredhaan ibu bapa, nescaya dibukakan baginya semua pintu syurga. Sebaliknya jika semasa pagi lagi telah menyakiti hati ibubapa, nescaya akan dimasukkan ke dalam neraka.”

Kita sebenarnya tidak berdaya membalas jasa ibu dan bapa. Hakikat ini perlulah kita insafi. Jika mereka tidak wujud di dunia, kita juga tidak akan lahir di dunia ini. Oleh sebab itu, kita digalakkan mendoakan mereka setiap kali selepas solat. Jika mereka masih hidup, layanilah mereka dengan sebaik-baik mungkin. Tetapi jika sudah meninggal dunia, selalulah menziarahi tanah perkuburan di samping mendoakan kesejahteraannya. Buatlah sebarang kebajikan seperti sedekah dan niatkan pahala untuk arwah ibu dan bapa. Mereka akan menerima pahala tersebut. Inilah sahaja bukti ketaatan yang dapat kita tunjukkan terhadapnya. Akhirnya, ingatlah pesanan Nabi saw: “Khabarkanlah berita gembira ini kepada mereka yang berbuat baik kepada ibubapa: Buatlah apa saja bahawasanya Allah Taala telah mengampuni mereka. Dan khabarkan berita buruk kepada mereka yang menderhakai ibubapa, buatlah seberapa banyak ibadat yang disukai, bahawasanya Allah Taala tidak akan memberikan keampunan sedikitpun kepadanya.” “Ingatlah anak yang berbuat baik kepada ibubapa tidak akan masuk neraka. Dan anak yang derhaka kepada mereka tidak akan masuk syurga.”
http://mindabahasa.wordpress.com/2006/08/29/kewajipan-kepada-ibu-bapa/

Empat Kriteria Masyarakat Jahiliyah

Oleh: Ihsan Tanjung

Muhammad Quthb, adik kandung asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah, menyebut dunia modern sebagai jahiliyah abad 20 atau jahiliyah modern. Menurutnya "jahiliyah" bukan hanya keadaan di jazirah Arab pada masa awal Nabi Muhammad shollallahu 'alaih wa sallam diutus. Jahiliyah merupakan sifat yang mungkin berlaku bagi masyarakat manapun di zaman kapanpun bila memenuhi setidaknya empat kriteria.

Pertama, tidak adanya iman yang sesungguhnya kepada Allah ta'ala. Yaitu, sikap yang membuktikan kesatuan antara akidah dan syariat tanpa pemisahan.

Kedua, tidak adanya pelaksanaan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah ta'aala, yang berarti menuruti "hawa nafsu" manusia.

"...dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS Al-Maidah ayat 49-50)

Ketiga, hadirnya berbagai thaghut di muka bumi yang membujuk manusia supaya tidak beribadah dan tidak taat kepada Allah ta'aala serta menolak syariat-Nya. Lalu, mengalihkan peribadatannya kepada thaghut dan hukum-hukum yang dibuat menurut nafsunya.

"Allah ta'aala Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS Al-Baqarah 257)

Keempat, hadirnya sikap menjauh dari agama Allah ta'aala, sehingga penyelewengan menjurus kepada nafsu syahwat. Masyarakat itu tidak melarang dan tidak merasa berkepentingan untuk melawan perbuatan asusila.

Itulah beberapa ciri menonjol setiap kejahiliyahan yang ada di muka bumi sepanjang sejarah. Semuanya muncul dari cirinya yang paling pokok, yaitu penyelewengan dari kewajiban berbakti dan menyembah Allah ta'aala sebagaimana mestinya.

Ciri pertama suatu masyarakat jahiliyah adalah tidak adanya iman yang sesungguhnya kepada Allah ta'aala. Sebagian masyarakat bisa jadi mengaku beriman, mengaku muslim. Namun dalam hal mengimani Allah ta'aala, mereka mengimani Allah ta'aala menurut selera, bukan sebagaimana Allah ta'aala memperkenalkan dirinya di dalam Kitab-Nya. Mereka tidak tunduk kepada Allah ta'aala, malah mereka yang mendefinisikan Allah ta'aala sesuai hawa nafsu.

"Dan mereka tidak menghormati Allah ta'aala dengan penghormatan yang semestinya." (QS Al-An'aam ayat 91)

Dalam suatu masyarakat jahiliyah mereka senang mengakui Allah ta'aala sebagai Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pengampun. Tapi mereka tidak suka mendengar Allah ta'aala sebagai Yang Maha Keras siksaNya, atau Maha Memaksa, Maha Perkasa serta Maha Sombong. Padahal semua ini merupakan atribut dari Allah ta'aala yang jelas tercantum di dalam Kitab-Nya.

"Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah ta'aala amat keras siksaan-Nya." (QS A-Anfaal 25)

"Dia-lah Allah ta'aala Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah ta'aala Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah ta'aala dari apa yang mereka persekutukan." (QS Al-Hasyr ayat 22-23)

Mengapa sebuah masyarakat jahiliyah bersikap pilih-kasih terhadap berbagai atribut Allah ta'aala? Karena mereka banyak tenggelam dalam perbuatan dosa dan maksiat, sehingga mereka sangat perlu dengan tuhan yang menyayangi dan mengampuni. Mereka suka dengan tuhan yang menjanjikan surga yang penuh kenikmatan. Namun mereka berusaha untuk tutup mata akan tuhan yang maha kuasa, maha perkasa dan maha keras siksaannya. Mereka menutup mata akan hadirnya neraka dengan segenap siksaannya yang mengerikan.

Sebab mereka ingin tetap bermaksiat namun tidak ingin menerima konsekuensi atau hukuman akibat maksiat tersebut. Maka mereka mengimani sebagian saja dari ketuhanan Allah ta'aala. Artinya, mereka tidak mau mengembangkan iman yang sesungguhnya kepada Allah ta'aala sebab mereka tidak siap menanggung resikonya. Mereka beriman dengan cara berangan-angan. Mereka beriman dalam mimpi belaka. Mereka sangat lemah dalam beriman. Sungguh benarlah Rasulullah shollallahu 'alaih wa sallam dengan sabda beliau sebagai berikut:

"Orang yang paling cerdas ialah barangsiapa yang menghitung-hitung/evaluasi/introspeksi (‘amal-perbuatan) dirinya dan ber'amal untuk kehidupan setelah kematian. Dan orang yang paling lemah ialah barangsiapa yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan (diampuni) Allah ta'aala." (At-Tirmidzi 8/499)

sumber: http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/empat-kriteria-masyarakat-jahiliyah-1.htm
http://www.akhirzaman.info/islam/miscellaneous/1341-empat-kriteria-masyarakat-jahiliyah.html

Siksaan Tidak Hanya Menimpa Orang Zalim

di ambil dari |  
http://www.suara-islam.com/news/nafsiyah/peningkatan-nafsiyah/70-siksaan-tidak-hanya-menimpa-orang-zalim       Jzkk.

Allah SWT berfirman:

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. al-Anfaal [8]: 25).

Makna Umum

Ayat di atas amat mengagumkan, namun juga memberikan peringatan keras kepada kita. Ayat ini berkaitan dengan penegakan amar ma’ruf nahi munkar. Banyak kitab dakwah yang menjadikan ayat di atas sebagai pendorong aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.1 

Ayat tersebut berisi peringatan untuk berhati-hati (hazr) akan siksaan (azab) yang tidak hanya menimpa yang zalim saja, tetapi menimpa secara umum baik yang zalim maupun yang tidak zalim. Karena itu secara syar’i, wajib hukumnya bagi orang yang melihat kezaliman atau kemunkaran dan mempunyai kesanggupan, untuk menghilangkan kemunkaran itu.2 

Inilah cara menghindarkan diri dari siksaan itu, yakni dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada yang berbuat zalim atau munkar.3 

Subjek yang melakukan kezaliman ini sifatnya umum (bisa siapa saja), baik individu, kelompok, maupun negara (penguasa). Jika kewajiban amar ma’ruf nahi munkar ini tidak dilaksanakan, maka semuanya berdosa sehingga layak menerima azab Allah yang ditimpakan secara merata baik yang berbuat munkar maupun yang tidak. Inilah salah satu makna bahwa Allah itu amatlah keras siksaan-Nya.4

Pendapat Para Mufassir

Imam Al-Baghawi (w. 510 H) dalam dalam Ma’alim At-Tanzil (II/204) menerangkan makna fitnah dalam ayat tersebut, dengan mengutip pendapat Ibnu Zaid, adalah terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah) dan saling menyelisihi satu sama lain. Makna ayat ialah, peliharalah dirimu dari siksaan yang menimpa orang zalim dan orang yang tidak zalim. Kemudian Al-Baghawi meriwayatkan pendapat para mufassir seperti Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zubair bin al-‘Awwam, As-Sudi, Muqatil, Adh-Dhahhak, dan Qatadah yang mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan suatu kaum di antara shahabat Rasulullah, yang tertimpa cobaan pada Perang Jamal (36 H). 

Al-Baghawi juga menukil Ibnu Abbas yang berkata ;

“Allah SWT telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran di hadapan mereka sehingga Allah meratakan azab kepada mereka yang menimpa orang zalim dan tidak zalim.” Al-Baghawi kemudian meriwayatkan hadits yang mendukung makna ayat, di antaranya, sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan orang-orang tertentu, hingga masyarakat umum melihat kemunkaran di hadapan mereka sedang mereka mampu mengingkarinya tapi mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian, maka Allah akan menyiksa masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu.” [HR. Ahmad dan Ath-Thabrani, dalam Al-Awsath].5

Imam Ibnu Al-‘Arabi (w. 543 H) dalam Ahkamul Qur`an (Juz IV/228) menjelaskan, pengertian kata fitnah dalam ayat tersebut artinya adalah al-baliyah yang berarti cobaan/ujian (pendapat Al-Hasan Al-Bashri), atau ada yang mengatakan artinya al-azab (siksaan). Beliau secara umum menafsirkan ayat di atas dengan mengambil perkataan Ibnu Abbas, yakni bahwa Allah telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran yang terjadi di hadapan mereka, sehingga Allah meratakan azab kepada mereka. Kemudian beliau juga memaparkan beberapa hadits SAW yang menerangkan makna ayat di atas. Diriwayatkan, ada shahabat yang bertanya ;

“Wahai Rasulullah apakah kami akan binasa, sedang di tengah kami ada orang-orang saleh?’ Nabi menjawab, ‘Ya, jika keburukan telah meluas.[i]” [HR. Muslim].6

Imam Al-Qurthubi
(w. 671 H) [i]Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an (VI/392), menerangkan, arti fitnah yang dimaksud adalah meluasnya kemaksiatan (zhuhur al-ma’ashi), menyebarnya kemunkaran (intisyar al-munkar), dan tidak adanya upaya mengubah kemunkaran (‘adam at-taghyir). Beliau meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas seperti dalam tafsir al-Baghawi. Al-Qurthubi menukil ta`wil Zubair bin Al-Awwam, As-Sudi, dan Al-Hasan Al-Bashri yang menyatakan bahwa ayat itu secara khusus berkenaan dengan Ahl Badr (peserta Perang Badar) yang tertimpa fitnah pada Perang Jamal sehingga saling berbunuhan.7

Imam Al-Baidhawi (w. 685 H) dalam kitab tafsirnya Tafsir Baidhawi (III/46), mengartikan fitnah dalam ayat tersebut sebagai dzanbun (dosa). Jadi, makna ayat adalah, peliharalah dirimu dari dosa yang pengaruhnya akan merata mengenai kamu, yaitu seperti dosa mengakui kemunkaran yang nampak di hadapan kamu, bersikap menjilat (mudahanah) dalam amar ma’ruf nahi munkar, terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah), munculnya bid’ah, dan melalaikan jihad.8

Imam As-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat ini.9 Sementara dalam kitab Tafsir Jalalain/b], As-Suyuthi menerangkan bahwa cara menghindarkan diri dari siksaan atau azab, adalah dengan mengingkari kemungkaran yang menjadi penyebab siksa.10

[b]Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitab Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (hal. 230) —ringkasan tafsir Fathul Qadir karya Asy-Syaukani— karya Al-Asyqar, diterangkan bahwa makna ayat, peliharalah dirimu dari siksaan, yang tidak hanya mengenai orang zalim, sehingga menimpa orang saleh dan tidak saleh. Menurut Asy-Syaukani, orang yang ditimpa siksaan itu ialah yang tidak memenuhi perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak mendukung yang haq dan tidak mengingkari yang batil. Menurut beliau, bahwa di antara kerasnya siksaan Allah, ialah ditimpakannya azab bagi orang-orang yang tidak berbuat zalim. Ini terjadi karena mereka tidak beramar ma’ruf nahi munkar, sehingga kerusakan menjadi luas lalu hukuman ditimpakan secara umum.11

Imam Ibnu Katsir (w. 1372 H) dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (II/300), berkata bahwa kata fitnah dalam ayat tersebut artinya ikhtibar (ujian) dan mihnah (cobaan).12 Ibnu Katsir menerangkan, dalam ayat ini Allah memberi peringatan akan adanya cobaan yang merata yang menimpa orang yang berbuat buruk dan yang tidak berbuat buruk. Cobaan ini tidak hanya menimpa pelaku maksiat atau pelaku dosa, tetapi merata dan tidak dapat dihindari dan dilenyapkan. Beliau selanjutnya menerangkan pendapat Az-Zubair, Al-Hasan Al-Bashri, dan As-Sudi bahwa ayat ini berkaitan dengan sebagian shahabat yang terlibat dalam Perang Jamal. Selanjutnya, beliau menukil penafsiran Ibnu Abbas, yang dikomentarinya sebagai, “Ini tafsir yang bagus sekali.” (hadza hasan jiddan). Kemudian Ibnu Katsir memaparkan beberapa hadits Nabi SAW yang mendukung makna ayat. Berdasarkan hadits-hadits itu, menurut beliau, peringatan pada ayat ini berlaku umum untuk para shahabat dan selain shahabat, meskipun ayat ini berkenaan dengan shabahat.

Imam Nawawi Al-Jawi dalam Marah Labid (I/350) berkata, arti ayat di atas ialah, berhati-hatilah/waspadalah kamu terhadap fitnah, yang jika menimpa kamu, tidak hanya mengenai orang zalim saja, tetapi akan mengenai kamu semua baik orang yang saleh maupun yang tidak saleh. Berhatiu-hati terhadap fitnah itu adalah dengan cara melarang kemunkaran. Maka, wajib atas orang yang melihat kemunkaran untuk menghilangkan kemungkaran jika ia mempunyai kesanggupan melakukannya. Jika dia mendiamkan kemunkaran itu, maka semuanya telah berbuat maksiat. Yang melakukan kemunkaran bermaksiat karena perbuatan munkarnya, yang mendiamkan kemunkaran juga bermaksiat karena rela dengan kemunkaran itu. Allah telah menjadikan orang yang rela terhadap kemunkaran sama kedudukannya dengan orang yang melakukan kemunkaran. Maka keduanya disamakan dalam hukumannya. Ciri rela terhadap kemunkaran adalah tidak merasa sedih melihat penyimpangan agama oleh perbuatan maksiat. Jadi, orang tidak dikatakan benci, kecuali jika ia merasa sedih seperti kesedihannya karena kehilangan harta dan anaknya. Maka siapa saja tidak seperti itu, berarti dia telah rela terhadap kemunkaran sehingga hukuman dan musibah akan terjadi secara merata. Demikian menurut Imam Al-Jawi.13


Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Ayat di atas menekankan betapa pentingnya umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada siapa saja yang berbuat zalim atau munkar. Sebab jika kewajiban ini ditinggalkan, akan muncul siksaan atau cobaan yang menimpa secara umum, baik menimpa pelaku maksiat maupun orang-orang yang taat.

Pelaku kezaliman ini bisa siapa saja, baik individu, kelompok, atau penguasa. Karena frasa alladzina zhalamu (orang-orang zalim) bersifat umum, sesuai kaidah ushul bahwa isim mawshul (di antaranya alladzina) memberikan arti umum.14 Mengenai kemunkaran individu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin, menjelaskannya bermacam-macam kemunkaran berdasarkan tempat, seperti kemunkaran di masjid, di pasar, di jalanan, dan sebagainya.15 Dalam konteks kekinian, tentunya tempat kemunkaran itu semakin luas dan banyak, seperti kemunkaran di tempat rekreasi, tempat hiburan, hotel, penginapan, salon, kafe, bioskop/pawagam, kampus, dan sebagainya. 

Kemunkaran yang dilakukan kelompok, misalkan kemungkaran segerombolan perampok, partai politik nasionalis (sekuler) yang tidak berasaskan Islam, sebagian partai politik Islam yang mempunyai ide, program, atau langkah yang menyalahi Islam, serta kelompok yang mengadopsi ide liberal yang kafir dan menafsirkan Islam agar tunduk pada kaidah-kaidah ideologi kapitalisme yang sekuler. 

Kemunkaran penguasa, misalnya menjadikan sekularisme sebagai dasar kehidupan bernegara, menjalankan sistem demokrasi dalam bidang politik (memberangus dakwah dan Jihad), dan sistem kapitalisme dalam bidang ekonomi (menaikan harga BBM, Mencabut Subsidi Pendidikan, Menaikan Tarif Dasar Listrik, Menjual aset-aset negara kepada pihak asing. 

Semua itu termasuk kemunkaran atau kezaliman yang kita diwajibkan untuk menghilangkannya sesuai kesanggupan yang kita miliki. Jika umat diam saja serta rela terhadap semua itu, serta tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka berhatilah-hatilah dan waspadalah, karena berbagai cobaan, bencana, dan kerusakan akan bisa menimpa kita semua secara merata. Hancurnya kewibawaan umat, amburadulnya kondisi politik, serta porak porandanya kondisi ekonomi, merupakan sekelumit akibat buruk yang bisa kita alami secara bersama-sama akibat kelalaian kita beramar ma’ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang dilakukan sebagian dari kita.

Jelaslah, bahwa Islam adalah dien yang lurus yang mengajarkan adanya kepedulian dan tanggung jawab terhadap kepentingan dan kebaikan masyarakat, bukan ideologi individualis yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama masyarakat. Itulah dien yang telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai ciri khas yang hanya dimiliki umat Islam, sebagai umat terbaik di antara seluruh umat manusia (Qs. Ali ‘Imran [3]: 110). Inilah ciri khas yang berbeda dengan ciri khas kaum Bani Israil terlaknat yang tidak melarang kemunkaran yang dilakukan di antara mereka (Qs. al-Maa'idah [5]: 79), dan berbeda pula dengan ciri khas kaum munafik yang malah melakukan amar munkar dan nahi ma’ruf (Qs. At-Taubat [9]: 67). Wallahu a’lam [ ]


Catatan Kaki:

1. Lihat misalnya Ibnu Taymiyah, Menuju Umat amar Ma’ruf Nahi Munkar (Al-Amru bil-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an Al-Munkar), terjemahan oleh A.H. Hasan, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988. hal. 36; Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Cetakan XI, Jakarta : Media Dakwah, 2000, hal. 112. 

2. Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, Beirut : Darul Fikr, Juz I, hal. 350

3. Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (Al-Jalalain), Beirut : Darul Fikr, 1991, hal. 133.

4. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (Mukhtashar Tafsir Asy-Syaukani), Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah, 1985, hal. 230.

5. Al-Husain ibn Mas’ud Al-Farra` Al-Baghawi, Ma’alim At-Tanzil, Beirut : Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1993, Juz II, hal. 203; penafisiran semakna lihat ‘Ala`uddin Al-Khazin (w. 741 H), Lubab At-Ta`wil fi Ma’an At-Tanzil (Tafsir Al-Khazin), Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, Juz II, hal. 22-23. 

6. Imam Ibnu Arabi, Ahkamul Qur`an, Juz IV, hal. 228.

7. Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz VI, hal. 391. 

8. Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta`wil (Tafsir Baidhawi), Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, Juz III, hal. 46-47.

9. Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath Al-Tanzil, Kairo : Darul Kitab Al-‘Arabi, tanpa tahun, hal. 113; Lihat juga Abu Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas, hal. 147.

10. Jalaluddin As-Suyuthi , Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (Al-Jalalain), Beirut : Darul Fikr, 1991, hal. 133. 

11. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (Mukhtashar Tafsir Asy-Syaukani), Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah, 1985, hal. 230

12. Tafsir Ibnu Katsir, Juz II, hal. 300.

13. Muhammad Nawawi Al-Jawi, 1994, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, Beirut : Darul Fikr, Juz I, hal. 350.

14. Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun, hal. 121; Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Damaskus : Darul Fikr, 2001, Juz I, hal. 248.

15. Lihat Imam Al-Ghazali, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, Ihya` Ulumiddin, terjemahan oleh Imron Abu Amar, Jakarta : Pustaka Amani, 1984, hal. 101-119.

Pilih: Setitis ATAU Selautan Cinta dan Kasih Sayang

Cinta dan kasih sayang manusia hanyalah setitis yang datang kemudian jika dibandingkan dengan selautan cinta dan kasih sayang Allah yang tak bertepi selama-lamanya…

Sekiranya engkau kehilangan yang setitis itu, ia tidak akan menjejaskan kehidupanmu selagi yang selautan masih engkau miliki...  

Ulasan: Kadang2 kita mengejar yg setitis cuma...kerana terlalu bergantung kepadanya, tidak boleh hidup tanpanya... Padahal yg setitis itu adalah late comer into our life dan sementara pula tu... Nyatalah yg selautan itulah yang kekal selamanya. Jagalah dirimu dengan agama.

Rujukan: http://cintaiallah.blogspot.com/2010_08_01_archive.html