Oleh : Lalu Nurul Bayanil Huda
Menarik apa yang dinyatakan oleh Prof. Hamka, ketika ditanya; Bagaimana pendapatnya tentang gagasan bahwa modernisme haruslah ditegakkan atas sekulerisme? Diakhir jawaban, beliau menyindir dengan mengatakan : Dan kalau ada orang atau golongan yang menganjurkan modernisasi yang isinya bermaksud westernisasi, atau modernisasi bermaksud sekulerisme, orang itu adalah “burung gagak” yang telah terlepas dari masyarakat kaumnya. “Duduk diatas singgasana gading, terpesona pada budaya barat dan hendak mengatur dari atas” (Hamka, Dari Hati Ke Hati, Pustaka Panjimas Jakarta, Tahun 2002, P 271).
Tamsil Hamka dengan burung gagak ini sungguh dalam dan tepat, sebab bagi beliau, “Menurut dongeng burung gagak itu dahulu hidup seperti ayam, berjalan baik-baik di atas tanah. Tetapi gagak ingin sekali hidup meniru burung yang dapat terbang di udara. Akhirnya terlepaslah dia dari masyarakat ayam, tetapi tidak diterima dalam masyarakat burung. Akan kembali hidup sebagai ayam, kandang sudah lama hilang. Akan hidup sebagai burung, sarang tidak ada. Sebab itu diantara segala burung, gagaklah yang tidak ada kandang dan tidak ada sarang. Dan berjalannya di ataspun tidak tenang dan kakinya tidak dapat menetap”.
Sebagimana halnya dengan prediksi Hamka Amien Rais pun pernah meramalkan hal ini. Karena baginya, di Amerika Latin saja yang tidak memiliki tradisi keagamaan yang kuat seperti di dunia muslim (meskipun disana Katolik yang dominan), ia tidak menghasilkan apa-apa bahkan lenyap dimakan waktu. Apalagi kalau di sebuah Negara muslim terbesar seperti Indonesia yang memiliki kultur dan tradisi yang kuat memegang agama (Amin Rais, Islam dan Pembaharuan; ensiklopedi masalah-masalah, Rajawali Jakarta, Halaman Pengantar).
Memang hingga saat ini perdebatan tentang sekularisme dan sekularisasi masih kerap terjadi dan saling berbenturan di kalangan intelektual Muslim bukan hanya di Indonesia tapi juga konteks dunia. Sehingga muncul kelompok-kelompok yang secara bertentangan. Ada yang menentang keras karena negara tidak bisa dipisahkan dari agama, ada juga yang mengupayakan sekularisme sebagai suatu paham yang sesungguhnya yang menurut mereka jika prinsip-prinsip sekularisme diterapkan secara benar justru melindungi kebebasan menjalankan keyakinan agama, berlaku adil terhadap agama-agama dan menyetarakan agama-agama dalam konteks masyarakat dan negara.
Usaha untuk mensekularkan Indonesia sudah nampak nyata di kalangan intelektual Islam yang berhaluan liberal. Gagasan itu mulai diwacanakan secara terbuka oleh Nurcholis Madjid pada suatu diskusi yang diadakan tanggal 12 Januari 1970 di Jakarta. Dalam suatu makalah yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Sejak itu ide sekular mulai banyak di lontarkan hangga saat ini. Diantara yang sering melontarkan ide sekularisasi di Indonesia adalahLuthfi As-Syaukani, Mun’im A. Sirry, Hamid Basyaib, Ulil Abshar Abdala, dll. ( Adnin Armas,MA, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, Gema Insani, Jakarata, P. 15).
Namun sekularisasi yang berkembang di Indonesia saat ini tidak lebih dari sebuah eksperimen yang gagal ditanamkan untuk menjadi ideologi masyarakat secara umum. Mungkin untuk kalangan tertentu atau sebagai wacana kampus, dia menunjukkan hasil yang siginifikan. Tetapi sebagai pandangan hidup masyarakat muslim Indonesia, itu hanya mimpi di siang bolong.
Kalaupun terlihat berhasil, itu hanyalah opini media massa yang terlalu over dalam membesar-besarkan berita. Buktinya, hingga saat ini tidak ada perubahan pandangan masyarakat muslim secara umum terhadap keyakinan dan agama mereka. Tidak seperti yang pernah terjadi di Turki era Kamal Attaturk misalnya, yang sampai menjadikan sekularisme sebagai identitas Negara itu. Itupun sekarang sudah mulai goyah dengan kembalinya kesadaran banyak elit politik Turki tentang pentingnya agama dalam hidup dan kehidupan (M. Arfan Muammar, Majukah Islam Dengan Menjadi Sekuler?, CIOS, 2007, P 66 – 67).
Di Indonesia, harapan para pembawa panji sekularisasi mengalami jalan buntu. Keputusan Pemerintah tentang Ahmadiayah, penangkapan Lia Eden, penangkapan beberapa pemimpin aliran sesat, gagalnya idea pembubaran Departemen Agama, dll merupakan bukti nyata akan tidak goyahnya negara kita dari serangan para Intelektual Liberal.
Masyarakat, khususnya yang diperkotaan semakin menyadari pentingnya tuntunan agama, dan itu dapat kita lihat dengan mata telanjang. Pengajian banyak yang bermunculan dikampus-kampus, perusahaan bahkan instansi-instansi strategis pemerintahan. Begitu pula makin populernya kajian tentang ekonomi Islam dan lainnya, yang makin menampakkan corak baru keagamaan masyarakat, tetapi yang jelas bukan sekularisasi.
Sejarah juga membuktikan keberhasilan para pejuang muslim bangsa ini yang mengusir paham komunisme dari bumi Indonesia adalah bukti empiris paling dekat yang bisa kita jadikan sebagai tolok ukur. Padahal, seperti yang kita maklumi bersama, komunisme dikempenkan/dikampanyekan bukan hanya dengan propaganda kata-kata melalui media massa, surat kabar dan semisalnya, tetapi juga dengan hasutan, kekerasan fisik, kekejaman dan sebagainya yang akhirnya hanya menjadi setetes dari sejarah kelam bangsa Indonesia.
Meskipun, kalau dilihat dari program-program yang ditawarkan, dana yang dikeluarkan hingga NGO-NGO luar negeri yang menaja/mensponsori sekulerisasi di Indonesia, sangatlah luar biasa. Namun, realitanya semua itu tidak memperoleh “pasaran”. Lebih-lebih dikalangan masyarakat awam yang secara batin terikat kuat dengan doktrin agama.
Faktor-faktor terpenting yang dianggap sebagai penghalang utama sekulerisasi sehingga menjadikannya mandeg dan stagnan di Indonesia, karena kekokohan lembaga-lembaga keagamaan, khususnya Pondok Pesantren di bawah asuhan para Kyai, Ustaz dan semisalnya.
Kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan Mesir. Meskipun masyarakat kedua-dua Negara ini cenderung cepat menerima dan terpengaruh dengan budaya luar berupa hiburan dan semisalnya, tetapi masalah agama belum tentu. Di Mesir, upaya itu gagal secara makro, meskipun ada yang terpengaruh tetapi sangat relatif. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Mesir kuat dengan Al-Azharnya, sementara Indonesia kokoh dengan Pondok Pesantren.
Rujukan: http://www.pku.isid.gontor.ac.id/index.php/archives/21
Komen: Alhamdulillah kerana masih ramai ulama Nusantara yang berjiwa merdeka. Kepada cerdik pandai yang berilmu tapi yang jiwanya kurang merdeka, gunakan masa untuk meningkatkan jiwa merdeka. Hidup mati kita wajar berusaha terus untuk menjadikan Islam tinggi (ya'lu) dan tidak ada yang dapat menandinginya.
No comments:
Post a Comment