Sentilan/Kritikan@ Teguran Bagi Pengusung/Pembawa Pluralisme Agama
Ada sebagian kalangan bahkan banyak yang mengatakan bahwa sebab pokok konflik-konflik yang terjadi adalah agama, seperti konflik Palestina dengan Israil, Bosnia dengan Serbia, tragedi Poso antara orang Islam dengan Kristen, dan lain sebagainya. Atas dasar asumsi tersebut, kata Anis Malik Toha, dosen/pensyarah perbandingan agama di ISTAC Malaysia dalam bukunya Tren-Tren Plulalisme Agama: Studi Kritis, para ahli perbandingan agama meneliti kembali agama-agama kemudian menyimpulkan bahwa semua agama sama. Kesimpulan itulah yang akhirnya diakui dan dijadikan rujukan oleh banyak kalangan, padahal kesimpulan tersebut salah, karena telah terjadi pengkebirian reduksionistik tentang agama.
Toha menambahkan dalam buku yang sama, pernyataan semua agama sama kemudian dikembangkan oleh W.C. Smith dan John Hick yang keduanya menyebutnya dengan “teori global” inti dari teori ini adalah semua agama sama, semuanya dapat dijadikan sebagai jalan untuk menuju keselamatan, perbedaaannya adalah hanya dari segi cara. Untuk mengembangkan tesis tersebut, W.C. Smith menganjurkan keharusan “tranformasi orientasi dari pemusatan agama menuju pemusatan iman dan himpunan tradisi”. Sedangkan John Hick menganjurkan keharusan “tranformasi orientasi dari pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan”. Dari keduanya, terutama John Hick, teori pluralisme agama tersebar ke banyak negara atau bangsa, termasuk Indonesia.
Di Indonesia paham/faham ini banyak disebarluaskan oleh orang-orang yang mengaku ingin memperbaharui pemahaman ajaran agama, karena ajaran yang selama ini diajarkan sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan global atau zaman sekarang, kata mereka. Tapi apakah Indonesia yang penduduknya mayoritas/majoriti Islam mau menerima paham tersebut? MUI (Majlis Ulama Indonesia) sebagai lembaga keagamaan yang punya otoritas untuk menolak atau menerima paham ini telah mengeluarkan fatwa haram terhadap paham pluralisme agama. Dengan kata lain, MUI menolaknya.
Mereka yang menyebarkan paham ini sering menggunakan surat al-Baqoroh ayat 62 dan 69 sebagai alat legitimasi bahwa al-Quran mengakui dan menerima pluralisme agama. Kata Dr. Syamsudin Arif dalam bukunya Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran hal 153, 2008 mereka telah melakukan mis interpretasi/kesilapan dalam menterjemahkan ayat tersebut, seharusnya mereka sebelum menafsirkan ayat tersebut melihat atau tidak mengabaikan kontek siyaq, sibaq serta lihaq, karena tidak melihat tiga kontek tersebut maka pada akhirnya kesimpulan mereka adalah pemeluk agama selain Islam akan mendapatkan pahala atau surga dari Allah, yang paling penting mereka melakukan perbuatan yang baik (amal sholeh). Lebih lanjut lagi setelah memapaparkan 15 ulama tafsir tentang ayat tersebut beliau menyimpulkan bahwa ulama tafsir dari kalangan salaf dan kholaf sepakat: (1) ayat 62 surat al-Baqoroh turun berkenaan setelah para sahabat Salman al-Farisi yang belum masuk Islam; (2) orang-orang yang munafiq dari kalangan kaum Muslimin, Yahudi maupun Nashroni adalah Kuffar, tidak beriman; (3) keselamatan, kedamian, dan kebahagian akhirat hanya dapat diraih melalui iman sejati dan amal sholeh sesuai dengan petunjuk Rasullah, Muhammad SAW.
Lebih transfran dari Dr. Syamsudin Arif, Prof. Kh. Ali Yaqub dalam bukunya, Haji Pengabdi Syetan menyatakan bahwa paham yang menyatakan bahwa semua agama sama, semuanya dapat dijadikan sebagai jalan untuk mendapatkan keselamatan adalah pemikiran sesat, yang tidak sesuai dengan Islam. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa para pengusung paham ini telah melupakan atau mungkin sengaja melupakan ayat-ayat selain ayat tersebut, hadits-hadist Rasul dan sejarah yang mana menunjukan bahwa Rasul SAW telah mengajak para penguasa Arab yang bukan beragama Islam untuk masuk Islam, seandainya Rasul menganut paham pluralisme agama, buat apa Rasul capek-capek/bersusah-payah mengajak para penguasa tersebut untuk masuk Islam. Jadi jelaslah bahwa paham pluralisme agama bertentangan dengan islam.
Tidak hanya ayat 62 dan 69 surat al-Baqoroh yang jadikan mereka sebagai alat legitimasi pluralisme agama, para pengusung teori ini juga menjadikan Ibnu Arobi dari tokoh Islam yang kata mereka sebagai legitimator pluralisme agama dalam islam. Apakah benar perkataan tersebut? Maka marilah sedikit kita telusuri untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dr. Syamsudin Arif dalam bukunya yang sama mengatakan, memang sejak beberapa dasawarsa terakhir tokoh yang telah menulis lebih dari 400 karya ini (Ibnu ‘Arobi) telah dijadikan sebagian ikon pluralisme agama oleh sebagian tokoh untuk membenarkan filsafat Perennial atau al-Hikmah al-kholidah yang dipopulerkan oleh Fritjof Schoun, Seyyed Husein Nashir dan Wiliam. C. Chittick.
Mungkin untuk mengetahui bahwa Ibnu A’robi bukanlah seperti apa yang katakan oleh para pengusung pluralisme agama maka disini kita memaparkan pandangan beliau tentang Islam, syariat dan orang Yahudi dan Nashroni.
Tentang Islam, Sani Badron dalam majalah Islamia No.3 2004 mengatakan Ibnu Arobi bukanlah apa yang katakan oleh para pengusung pluralisme agama. Ibnu A’robi meyakini bahwa hanya Islam agama yang sempurna dan agama yang lain tidak. Kesempuranaan merujuk kepada kesempurnaan nash-nash atau teks agama. Beliau menegaskan firman Allah “pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamu” sebagai satu ketetapan mengenai kesempurnaan agama islam yang tidak perlu penambabahan.
Mengenai syariat, Toha dalam bukunya Tren-Tren Plulalisme Agama:Studi Kritis 2005:246 bahwa Ibnu A'robi dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makaiyyah mengatakan:
“Syariat-syariat semuanya adalah cahaya dan Syariat Muhammad SAW diantara cahaya-cahaya ini ibarat, seperti cahaya matahari diantara cahaya-cahaya bintang-bintang. Ketika cahaya matahari muncul maka reduplah cahaya-cahaya bintang-bintang tersebut dan terserap kedalam cahaya matahari. Maka sirnanya cahaya-cahaya tersebut ibarat dihapusnya syariat-syariat tersebut oleh syariat Nabi Muhammmad. Dengan tetap eksisnya hakikat syarit-syariat tersebut sebagaimana eksisnya cahaya bintang-bintang. Oleh karena itu diwajibkan mengimani semua rasul. Dan semua syariat mereka adalah benar dan tidak dinaskh (dihapus) karena batal atau salah sebagaimana diduga orang–orang bodoh. Maka semua jalan (syariat) mengacu pada jalan atau Syariat Nabi Muhammad SAW. Seandainya para rasul hidup pada zaman Nabi Muhamad niscaya mereka akan mengikutinya sebagaimana syariat mereka mengikuti syariatnya.
Sedangkan mengenai orang Yahudi dan Nashroni, Dr. Syamsudin Arif dalam bukunya yang sama meruju langsung kepada Al-Futuhat al-Makiyyah mengatakan “menurut Ibnu A’robi, orang Yahudi dan Nashroni yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran agama murni mereka memang mengharuskan beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan mengikuti syariatnya. Pengikut Nabi Isa yang murni dan sejati tidak hanya mengimani kenabian Muhamamad SAW tetapi juga beribadah menurut Syariat Islam. Tentang Nabi Musa, beliau menegaskan dengan sabda Rasul SAW “seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak, harus mengikutiku.” Jelas dari penjelalasan ini menurut Ibnu Arobi orang-orang Yahudi dan Nashroni harus mengimani Rasul SAW dan mengikuti syariatnya, dengan kata lain mereka harus masuk islam, jika ingin mendapat keselamatan.”
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa Ibnu Arobi bukanlah apa yang dikatakan oleh para pengusung pluralisme agama, dia bukanlah tokoh yang mengakui bahwa semua agama sama, semua dapat dapat menjadi jalan keselamatan, baginya hanya Islam jalan keselamatan.
2. Konsekuensi Logis Pluralisme Agama
Adiain Husaini, dalam bukunya Pluralisme Agama:Haram (Fatwa MUI. Kontroversi, dan Penjelasannya) menyebutkan konsekuensi logis dari paham pluralisme agama adalah penyerangan terhadap al-Quran dan Syariah Islam. Dia mengatakan pada halaman/muka surat 41 konsekuensi logis dari paham pluaralisme agama adalah pandangan yang relatif terhadap kebenaran al-Quran. Sebab, kaum pluralis melihat keyakinan ummat Islam yang mutlak terhadap kebenaran dan kesucian al-Quran merupakan sumber pemahaman yang ekslusif, seolah-olah hanya Islamlah dan kitab sucinya saja yang benar. Pada halaman 46 dia menambahkan setelah kesucian Aqidah Islam tentang kebenaran al-Quran diobrak-abrik maka konsekuensi logis paham ini ialah mendekonstruksi Syariat Islam yang sudah mapan ratusan tahun.
Dalam buku Tren-Tren Pluralisme Agama: Studi Kritis karangan Dr. Anis Malik Toha disebutkan implikasi dan konsekuensi logis dari paham pluralisme agama salah satunya adalah ancaman terhadap HAM (Hak Asasi Manusuia). Dalam buku ini yang dimaksud dengan ancaman terhadap adalah tidak bebasnya pemeluk agama untuk mewujudkan atau mengekspresikan jati dirinya secara utuh dalam melaksanakan ajaran agama yang diyakinninya. Toha mengatakan:
“fakta emperis menunjukan bahwa para pemeluk agama yang minoritas yang hidup dalam naungan sistem pluralistik mengalami perlakuan diskriminatif yang menghalangi kebebasan mereka untuk mengeksperesikan jati diri keagamaannya, melakukan kewajiban-kewajiban ritual keagamaan, dan untuk memperoleh hak persamaan di depan undang-undang dan hukum seperti mengenakan jilbab bagi seoarang muslimah di sekolah-sekolah negri dan tempat-tempat kerja, penyembelihan hewan kurban untuk kalangan yahudi atau muslim. Jargon kebebasan yang diusung oleh sistem pluralistik liberal hanyalah sebatas kebebasan berkeyakinan dan beribadah dalam arti sempit, kemudian buat apa arti sebuah keyakinan atau keimanan tanpa mempraktekkannya?”
Membaca penjelasan singkat diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa paham pluralisme agama yang menyatakan semua agama sama sangat berbahaya bagi aqidah ummat Islam, karena paham ini akan mengantarkan ummat Islam kepada keraguan terhadap al-Quran dan Syariat Islam.
Rujukan: http://www.pku.isid.gontor.ac.id/index.php/archives/17
Komen: Kasihan ya, hujjah pengusung faham liberalisme amat cetek dan dapat dipatahkan dengan ulama yang berjiwa merdeka. Demikianlah mereka menggunakan logika akal untuk menyesatkan umat Islam dengan menyatakan Islam adalah sama dengan semua agama.
No comments:
Post a Comment