Suatu ketika khalifah bani Abbasiyah yang bernama Sulaiman bin Abdul Malik mengadakan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saat ia thawaf, tanpa sengaja matanya melihat bayangan sosok ulama karismatik; Salim bin Abdullah bin Umar yang sedang bersimpuh khusyu' di depan Ka'bah. Ia larut dalam zikir dan tenggelam dalam lautan munajat kepada-Nya. Air mata menggenangi pipinya.
Tentu, Salim bukanlah orang asing bagi sang khalifah. Ia adalah cucu Al Faruq; Umar bin Khattab ra. Dari sekian banyak cucu Umar, Salim-lah yang perwajahannya, tampilan fisik dan kepribadiannya sangat mirip dengan khalifah ar Rasyid yang kedua itu. Artinya secara zahir dan bathin, ia menyerupai pemimpin yang zuhud itu.
Setelah thawaf dan melaksanakan shalat dua raka'at, sang khalifah mendekat dan menghampiri Salim. Orang-orang yang melihatnya, segera memberinya tempat. Ia menunggu dengan sabar hingga cucu Umar itu menuntaskan zikir dan do'anya.
Setelah memberi salam, khalifah berkata, "Utarakanlah kepadaku apa yang menjadi keperluanmu, niscaya akan aku penuhi."
"Demi Allah, hati ini teramat malu untuk meminta sesuatu di rumah Allah, terlebih sesuatu itu aku memintanya kepada selain-Nya." Jawab Salim singkat.
Mendengar jawaban Salim, raut wajah khalifah menjadi merah anggur karena menahan malu.
Setelah bermunajat kepada Allah Swt, Salim keluar meninggalkan Masjidil Haram. Banyak orang yang mengejar dan mengerumuninya dengan beragam keperluan, termasuk sang khalifah. Ada yang bertanya perihal balasan dan siksa di akherat. Ada yang bertanya tentang hadits dan makna ayat. Ada yang meminta fatwa tentang persoalan agama. Ada yang minta disambungkan do'a. Adapun khalifah, ingin memberi sesuatu dari kenikmatan dunia, yang barangkali diinginkan oleh Salim.
Khalifah berkata, "(Duhai Salim), sekarang kita telah berada di luar masjid, katakanlah hajatmu yang ingin aku penuhi untukmu?."
"Keperluan dunia atau keinginan akherat?." Komentar Salim.
Khalifah menjawab, "Sudah barang tentu dari hajat dunia."
Dengan penuh izzah Salim berkata, "Aku tidak pernah meminta kebutuhan/keperluan dunia dari Pemiliknya (Allah Swt), bagaimana mungkin aku memintanya kepada yang tidak memilikinya (manusia)?."
Sang khalifah tak mampu menyembunyikan rasa malunya, sambil berlalu ia berkata, "Alangkah mulianya hati kalian wahai keturunan Al Khattab."
Tentu, Salim bukanlah orang asing bagi sang khalifah. Ia adalah cucu Al Faruq; Umar bin Khattab ra. Dari sekian banyak cucu Umar, Salim-lah yang perwajahannya, tampilan fisik dan kepribadiannya sangat mirip dengan khalifah ar Rasyid yang kedua itu. Artinya secara zahir dan bathin, ia menyerupai pemimpin yang zuhud itu.
Setelah thawaf dan melaksanakan shalat dua raka'at, sang khalifah mendekat dan menghampiri Salim. Orang-orang yang melihatnya, segera memberinya tempat. Ia menunggu dengan sabar hingga cucu Umar itu menuntaskan zikir dan do'anya.
Setelah memberi salam, khalifah berkata, "Utarakanlah kepadaku apa yang menjadi keperluanmu, niscaya akan aku penuhi."
"Demi Allah, hati ini teramat malu untuk meminta sesuatu di rumah Allah, terlebih sesuatu itu aku memintanya kepada selain-Nya." Jawab Salim singkat.
Mendengar jawaban Salim, raut wajah khalifah menjadi merah anggur karena menahan malu.
Setelah bermunajat kepada Allah Swt, Salim keluar meninggalkan Masjidil Haram. Banyak orang yang mengejar dan mengerumuninya dengan beragam keperluan, termasuk sang khalifah. Ada yang bertanya perihal balasan dan siksa di akherat. Ada yang bertanya tentang hadits dan makna ayat. Ada yang meminta fatwa tentang persoalan agama. Ada yang minta disambungkan do'a. Adapun khalifah, ingin memberi sesuatu dari kenikmatan dunia, yang barangkali diinginkan oleh Salim.
Khalifah berkata, "(Duhai Salim), sekarang kita telah berada di luar masjid, katakanlah hajatmu yang ingin aku penuhi untukmu?."
"Keperluan dunia atau keinginan akherat?." Komentar Salim.
Khalifah menjawab, "Sudah barang tentu dari hajat dunia."
Dengan penuh izzah Salim berkata, "Aku tidak pernah meminta kebutuhan/keperluan dunia dari Pemiliknya (Allah Swt), bagaimana mungkin aku memintanya kepada yang tidak memilikinya (manusia)?."
Sang khalifah tak mampu menyembunyikan rasa malunya, sambil berlalu ia berkata, "Alangkah mulianya hati kalian wahai keturunan Al Khattab."
(Terinspirasi dari buku "Tharaif wa mawaqif min at tarikh al Islami", karya; Hasan Zakaria Falaifil).
Saudaraku..
Itulah kisah tentang kemuliaan sejati. Harga diri yang dikehendaki Allah Swt dan Rasul-Nya. Izzah yang semestinya menjadi dambaan kita semua selaku ummat Muhammad saw.
Sebuah kemuliaan yang tak mungkin diraih oleh orang-orang yang tamak terhadap dunia. Mengejar kebahagiaan sesaat. Silau dengan kenikmatan semu. Tergiur dengan iming-iming kekuasaan. Bangga memakai mahkota jabatan. Terpedaya dengan penghormatan dan cium tangan para pengagum. Terpesona duduk manis di kendaraan mewah. Di dampingi para artis dan selebritis ternama. Kagum dengan jumlah pengikut yang sarat basa basi. Dan seterusnya.
Saudaraku..
Dari kisah di atas, kita dapat menggali beberapa mutiara berharga bagi kehidupan kita.
· Penguasa dambaan umat, adalah penguasa yang dekat, menghormati dan menghargai para ulama. Bukan menjauhinya apatah lagi menyingkirkannya. Sejarah mencatat, bahwa kegemilangan umat ini terwujud karena para penguasa menjadikan para ulama sebagai penasihat dan mitra dialog dalam menjalankan roda kekuasaannya. Sebaliknya penguasa yang menjauhi, memusuhi dan bahkan menyingkirkan para ulama, maka ia akan dilaknati dan dimusuhi oleh rakyatnya sendiri.
· Tawaran sang khalifah; Sulaiman bin Abdul Malik kepada Salim bin Abdullah bin Umar untuk memberinya sebagian dari kenikmatan dunia, bukan bertujuan untuk menyuap atau sebagai alat pelicin. Agar kekuasaannya tak diusik atau dikritisi oleh para ulama. Tapi pemberian tulus dan merupakan bukti bahwa ia sangat menghormati dan menghargai para ulama.
· Salim, menolak tawaran khalifah bukan lantaran ia tak menghormati penguasa, merendahkannya apalagi membencinya. Tapi ia ingin memberikan pelajaran kepada orang-orang di sekelilingnya dan juga kepada kita generasi setelahnya tentang hakikat zuhud dan waspada terhadap tipu daya dunia. Agar kita tak meminta kepada selain-Nya. Agar dunia tidak menjadi obsesi pertama dalam hidup kita. Agar kita tak dipandang rendah di hadapan manusia. Tapi hanya tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Salim bisa saja meminta jabatan strategis, harta benda dunia, kemewahan hidup dan yang seirama dengan itu. Tapi tidak ia lakukan. Karena ia tidak ingin bergantung kepada selain-Nya. Memiliki ketergantungan kepada selain-Nya.
· Parameter kemuliaan seseorang tidak terletak pada jabatan yang disandang. Atau kendaraan mewah model terbaru yang menghiasi garasi rumah. Atau meraih sederet prestasi puncak, memenangi gobel awards atau meraih bintang. Bukan pula diukur dengan banyaknya pengikut dan fans. Atau menggapai popularitas yang dikejar, kedudukan tinggi dan yang senada dengan itu. Hal itu bisa saja menjadikan kita mulia di mata manusia, tapi tidak di mata Allah Swt. Karena manusia sering terjebak menilai sesuatu dari tampilan luar, sementara Allah Swt hanya melihat hati dan amal shalih kita. Semakin kita mendekat dan menjaga hukum-hukum-Nya dalam kehidupan kita, maka kemuliaan sejati akan berlabuh dalam pelukan kita. "Padahal kemuliaan itu hanya bagi Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin." Al Munafiqun: 8.
· Jika ada penguasa yang menawarkan sebagian kenikmatan dunia kepada kita, tentu tanpa menunggu hitungan detik, kita langsung menyebutkan apa saja yang kita inginkan dalam hidup ini. Karena hati kita masih silau dengan dunia. Karena jiwa kita belum mampu menghadirkan warna kenikmatan surga. Karena para bidadari bermata jeli di surga Firdaus, baru mampu kita senandungkan dalam nasyid-nasyid Islami kita, dan belum mampu kita hadirkan bayangannya di pelupuk mata kita.
· Melandasi sebuah perjuangan dengan iming-iming dan pamrih dunia adalah fatamorgana. Seperti kita mau membantu dan mensukseskan calon tertentu dalam sebuah pilkada, tapi kita minta mahar politik, imbalan dan seterusnya.
Saudaraku…
Sudahkah kita menjadi orang mulia di hadapan Allah Swt? Wallahu a'lam bishawab.
Riyadh, 25 Maret 2012 M
No comments:
Post a Comment