Saya Kecewa akhi..
oleh : Yusran, ST (Sekum DPD PKS Aceh Selatan)
“Akh, dulu ana merasa sangat semangat dan aktif dalam dakwah ini. Tapi belakangan ini kok rasanya semakin hambar ya. Liqo’at hanyalah sekedar Rutinitas mingguan yang tidak lagi punya arah dan konsep yang jelas untuk berkembangnya dakwah ini, nggak ada peningkatan ruhiyah, fikriyah, jasadiyah, apalagi maaliyah sama sekali, kalau dulu ketika berjumpa ikhwah ceritanya lebih banyak tentang ruhiyah tapi sekarang lebih banyak cerita tentang rupiah. Ukhuwah terasa semakin kering.
Banyak sekali kader yang aktivitas & kontribusinya dalam dakwah ini tidak sesuai dengan level keanggotaannya, apa mungkin karena program akselerasi yang terlampau tinggi, sehingga tidak terevaluasi lagi dengan sangat mendalam dalam hal pengrekrutan. Bahkan akh, ana melihat kenyataan hari ini banyak sekali ikhwah kita sekarang kok aneh-aneh ya sikap dan gaya hidupnya. ” Begitulah keluh kesah seorang kader kepada sahabatnya di suatu senja di bawah rindangnya pohon cemara.
Sang sahabat ini menyimak dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut rekannya ini, ia mencoba memahami curahan hati ini dan terus menggali semua kecamuk yang membuncah dalam jiwa rekannya ini. “Jadi…, ini tujuan antum mengajak ana untuk datang kemari, Lalu…, apa yang ingin antum lakukan akhi setelah merasakan semua kondisi seperti ini?” sahut sang sahabat setelah sesaat memperhatikan kegundahan dan kegelisahan hati rekannya ini.
“Ana sangat kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak lagi Islami, sibuk dengan dunianya, sibuk dakwah kesana kemari tapi kurang maksimal dalam melakukan dakwah keluarga, nggak seperti dulu waktu masanya Partai Keadilan yang semua kadernya All Out, berlomba-lomba berkontribusi dan memberikan yang terbaik untuk dakwah ini, seharusnya akhi, dengan fasilitas yang kita miliki saat ini, akan lebih mudah bagi kita untuk melakukan rekrutmen kader-kader baru, padahal seingat ana dulu, dengan hanya bermodal honda astrea tua, setiap lorong mampu dijelajahi untuk mencari kader-kader baru, uuuh..begitu menyebalkan melihat kondisi mental dan semangat dakwah ikhwah kita hari ini. Kemana hilangnya ruh-ruh perubahan itu…???, Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti saat ini, begitu kaku dan sering mematikan potensi para anggotanya. Bila begini terus kondisinya, ana mendingan sendiri ajalah berdakwahnya…” jawab rekannya ini.
Sang sahabat ini kembali terdiam namun tidak tampak raut terkejut sedikitpun pada roman wajahnya yang begitu lembut. Sorot matanya tetap terlihat tenang, tajam dan berwibawa, seakan jawaban tentang hal itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
“Akh, bila suatu ketika antum naik sebuah kapal mengarungi lautan yang begitu luas. Kapal itu ternyata sudah amat rusak dan bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan akh untuk tetap sampai pada tujuan?”, tanya sang sahabat dengan kiasan yang bermakna begitu dalam. Rekannya ini terdiam dan berpikir sejenak. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat ini.
“Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?”, sang sahabat mencoba memberi opsi.
“Andaikan antum akhi terjun ke laut lepas, sesaat antum bisa saja akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat akhi, Berapa sih kekuatan antum untuk berenang hingga mencapai tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang menyergap? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum bisa mengatasi hawa dinginnya?” serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan rekannya ini.
Tak ayal lagi, rekannya ini menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan yang sedemikian rupa. Kekecewaannya terhadap dakwah ini sudah sangat memuncak, namun sahabatnya ini justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Akh, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah ini adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?” Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa rekannya ini. Ia hanya bisa mengangguk.
“Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sahabatnya ini lagi.
Rekannya ini tertunduk lesu dan terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, “Cukup Akh, cukup..!!! Ana sadar. Maafkan ana akh atas curahan hati ana ini. Ana akan tetap istiqamah akh, Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata dan amal ana diperhatikan dan dipuji oleh semua kader.
“Biarlah yang lain dengan urusan pribadinya masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan Janji-Janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan saat ini menjadi pelebur dosa-dosa ana”, rekannya ini mulai berazzam untuk menikmati segala dinamika yang ada dalam dakwah ini dengan lapang dada dan fikiran yang positif.
Sang sahabat ini tersenyum. “Akhi fillah…, Camkanlah baik-baik…,fahamilah bahwa jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan dan kekurangan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah, tentulah dengan segala dinamikanya selama proses itu berlangsung, adakalanya iman itu naik dan adakala iman itu juga akan turun, yang terpenting akh, selalu azzamkan dalam diri antum untuk senantiasa berdoa kepada Allah yang Maha membolak-balikkan hati manusia, agar hati kita tetap teguh dan istiqamah dijalan -Nya ”
“Akh, Bila ada satu dua kelemahan dan kekeliruan mereka dalam menjalani manhaj dakwah dan dalam hal menikmati bunga-bunga kemenangan dakwah ini, sadarilah bahwa itu merupakan kekeliruan individu, tidaklah tepat jika antum menyalahkan Institusi Tarbiyah ini, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum dengan cara menyebarkan kelemahan mereka pada semua orang, kitalah yang seharusnya menutupi kelemahan ikhwah kita. Andaikan antum melihat bahwa kesalahan atau kekurangan mereka sudah melenceng jauh dari manhaj dakwah, nasehatilah ikhwah kita itu dengan penuh kesantunan dan kecintaan. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan mengingat kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah sejak dulu sampai saat ini. Karena di mata Allah SWT, belum tentu antum lebih baik dari mereka.”
“Akh, Kita bukanlah sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan dan bercerita tentang keburukan ikhwah kita kepada semua orang. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah Da’i. Kita adalah Khalifah. Kitalah yang diserahi Amanah oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi ini. Sadarilah bahwa berdakwah secara berjamaah itu lebih baik daripada berdakwah secara sendirian”
“Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri…!,kalau saja setiap hari kita tidak disibukkan oleh hal-hal besar, maka pasti setiap harinya kita akan disibukkan oleh hal-hal yang kecil, contohnya kalau andaikan kita berazzam untuk menghapal Al-Qur’an 30 Juz, menghapal Al-Ma’tsurat Kubra seluruhnya, menghapal Hadist Arba’in dengan sanad dan terjemahannya dll, tentulah kita tidak ada waktu lagi untuk menggunjing dan menceritakan kekurangan orang lain ”.
“Tetapi Akh, ana juga sangat faham akan kerisauan antum tentang kondisi para juru dakwah hari ini, yang menurut antum sudah banyak melenceng, memang sudah selayaknya kita semua kembali ke Asholah, jangan sampai karena Manuver dan Tuntutan Politik Dakwah yang begitu tinggi, kita bisa-bisa nanti kehilangan Orientasi dalam dakwah, kita lupa bahwa kita adalah Partai Dakwah, kita lupa bahwa Tarbiyah adalah awal dari segalanya, oleh karenanya Tarbiyah tidak boleh dilupakan hanya karena kesibukan kita di dalam Dunia Politik, seandainya saja semua kader faham posisi mereka akhi, apakah mereka itu sebagai Qiyadah ataupun sebagai Jundiyah, entah ia sebagai murabbi ataupun sebagai mutarabbi, apa hak dan kewajiban mereka, tingkat pemahaman yg harus mereka miliki dan tingkat kontribusi yang harus mereka berikan untuk dakwah ini, bisa jadi mungkin tidak akan ada lagi curahan hati seperti yang antum sampaikan pada hari ini. “. Sambung Sahabatnya ini panjang lebar.
Rekannya ini termenung merenungi setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya ini. Ia menyadari bahwa begitu banyak yang harus dibenahi secara bersama-sama dalam dakwah ini, bukan malah lari dari Ladang Amal ini seperti sikapnya pada awal tadi, Azzamnya kembali menguat, Semangat Dakwahnya kembali menggeliat dan ia telah mendapatkan begitu banyak PENCERAHAN dari sahabatnya ini.
Akhirnya, rekannya ini menyadari kekhilafan dan kekeliruannya dalam menyingkapi dinamika dalam dakwah ini. Ia bertekad untuk terus berputar bersama jama’ah ini dalam mengarungi jalan dakwah yang masih begitu panjangnya.
Wallahu a’lam.
Rujukan
1. http://pksaceh.net/saya-kecewa-akhi/
2. http://husnabaek.blogspot.com/2011/07/siapa-diri-ini.html
Komen: Artikel yang menarik. Demikianlah usaha syaitan untuk melalaikan orang lama dalam usrah/liqo' supaya meninggalkan dakwah. Lawan tetap lawan. Allahumma Amiin. Kita adalah manusia yg dhaif...dan bukan malaikat. Marilah kita bertekad untuk terus berputar bersama jama’ah ini dalam mengharungi jalan dakwah yang masih begitu panjangnya. Dan nampaknya syaitan tak henti-henti memujuk kita supaya kita melalaikan tugas dakwah kerana janjinya dengan Allah. Kita pun perlu ingat janji ketika di alam ruh. Kita pernah di tanya: 'Alastu bi rabbikum?` Kita menjawab: "Qaalu, bala syahidna".
Ingat soalan Allah s.w.t. dan janji kita sebelum dilahirkan di dunia; berdasarkan firman Allah:
Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan zuriat anak-anak Adam (turun-temurun) dari (tulang) belakang mereka dan Dia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri, (sambil Dia bertanya dengan firmanNya):
Bukankah aku tuhan kamu? Mereka semua menjawab:
Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak: Sesungguhnya kami adalah lalai (tidak diberi peringatan) tentang (hakikat tauhid) ini (Surah Al-A'raf, ayat 172).
No comments:
Post a Comment