Wednesday, April 25, 2012

Menanam Kebaikan


Menanam Kebaikan

Rabu, 25 April 2012

Oleh Yudi Latif

Kecemasan dan pesimisme akan masa depan hanya bisa diatasi dengan berlomba-lomba menanam biji kebaikan hari ini.

Ada banyak alasan yang membuat kita kecewa dengan perkembangan kehidupan di negeri ini. Ke mana saja kita menghadap, yang tampak seolah hanyalah kekacauan, kepandiran, kerakusan, kemunafikan, kelicikan, dan kelambanan. Mediokritas menjadi warna dominan yang kita sapukan di atas kanvas kepemimpinan nasional di segala bidang.

Warna inilah yang memantulkan kecemasan ihwal krisis kepemimpinan. Ketidakteraturan menjadi tatanan umum kehidupan bernegara. Kekacauan tatanan inilah yang melahirkan kemacetan dan ketakterkendalian di mana-mana. Aji mumpung menjadi etos kekuasaan. Mentalitas menerabas inilah yang mengembangbiakkan korupsi dan menguras cadangan kekayaan bersama.

Fenomema mediokritas ini berakar dari apa yang disebut Frank Furedi (2004) sebagai the cult of philistism, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan pada interes-interes material dan praktis. Dunia pendidikan sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuantujuan praktis.

Orang-orang yang mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap sebagai 'elitis', 'tak membumi', dan 'marjinal'. Kedalaman ilmu dihindari, kedangkalan dirayakan. Merebaklah kegandrungan pada gebyar lahir, ketimbang isi batin. Kita cenderung melompat pada hasil akhir, ketimbang meniti perbaikan proses secara berkeringat dan bertanggung jawab. Kekinian dihebohkan begitu banyak gerak-gerik tanpa gerakan; begitu dahsyat gebyar pencitraan tanpa kedalaman substansial; begitu banyak perjalanan sekadar untuk jalan di tempat; begitu banyak perubahan sekadar untuk menambah masalah.

Pelbagai krisis yang timbul di sepanjang ekstravaganza pesta demokrasi saat ini pada hakikatnya, merupakan letupan permukaan dari krisis kebatinan karena pengabaian olah-batin oleh penyelenggara dan warga negara.

Dalam kaitan ini, peringatan Wiranatakoesoema pada sidang BPUPK seperti mengantisipasi kemungkinan ini. “Pada hemat saya, hal yang menyedihkan ini karena manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif, ... bukankah tujuan kita pro patria. Tetapi, pro patria per orbis concordiam. Maka alam moral ini hendaknya kita pecahkan, karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.“

Betapa pun negeri ini diliputi awan kelam, kita tidak boleh mengutuk bangsa sendiri dengan pesimisme negatif. Psikolog David D Burn mengingatkan, depresi kejiwaan meru pakan hasil pemikiran yang salah. Pemikiran negatif mendistorsikan persepsi sehingga segala hal dipandang buruk dan tak bermak na. Ketika seseorang atau suatu bangsa a. Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme dan ketidakbermaknaan, daya hidup dilumpuhkan oleh nestapa 4D (defeated, defective, disserted, dan deprived) yang dihayati sebagai kebenaran mutlak. Di sini, Burn menganjurkan perlunya pemikiran positif dan rasa optimistis.

Pemikiran positif dan optimisme tersebut tentu saja harus bersifat realistis. Bukan menunggu kebaikan bak rezeki durian runtuh, melainkan perlu disertai kerja keras dengan kebenaran dan kesabaran dalam pacuan waktu. Bahwa kecemasan dan pesimisme akan masa depan hanya bisa diatasi dengan berlomba-lomba menanam biji kebaikan hari ini.

Pesimisme akan masa depan terjadi karena sedikit orang yang menanam kebaikan di hari ini. Padahal, kemarin dan hari esok ditentukan hari ini. Mengapa begitu, karena waktu cepat berlalu sehingga masa kini dalam hitungan hari segera beralih menjadi masa lalu. Maka dari itu, siapa yang dapat mengontrol hari ini dapat mengontrol masa lalu; sedangkan siapa yang dapat mengontrol masa lalu dapat mengontrol masa depan.

Apa yang membuat kesilaman sebagai kenangan keagungan dan kedatangan sebagai harapan kebahagiaan adalah kesabaran dan keseriusan kita merebut hari ini. Seperti kata Leo Tolstoy, “Dua petarung yang paling kuat adalah kesabaran dan penguasaan waktu“. 


*REPUBLIKA (25/4/12) Kolom Resonansi
http://www.pkspiyungan.org/2012/04/menanam-kebaikan.html
Komen: Mari bersama-sama kita SEMARAKKAN menanam kebaikan di hari ini. 

No comments: