by Fawaid's Achmad on Friday, June 29, 2012 at 8:59am ·
Keluarga Qutb adalah keluarga yang sangat istimewa, laksana permata yang indah. Keteguhan dan ketabahan serta kepribadian unggul yang ditunjukkan sepanjang masa hidup dan tribulasi oleh keluarga Qutb dalam abad 20 ini mengingatkan kita kepada keluarga Yasir pada zaman Rasulullah: penuh dengan siksa, bahkan hingga menggadaikan nyawa demi mempertahankan aqidah.
Ibu dah ayah
Haji Qutub Ibrahim adalah kepala keluarga besar Qutub. Sepeninggal ayahnya, ia menjadi pembesar keluarga. Salah satu karakter yang menonjol darinya adalah suka berinfak kepada orang lain. Pemahaman dan visi agamisnya di satu sisi serta status sosialnya di tengah keluarga di sisi lain dapat disebut sebagai motifasi di balik karakter positifnya tersebut. Bahkan saking dermawannya ia, sampai-sampai ia menjual ladang dan rumah pribadinya yang luas lagi indah. Satu lagi kriteria sang ayah yang selalu dikenang oleh Sayid Qutub adalah kerendahan hatinya. Untuk mengenang sang ayah tercinta, Sayid Qutub mengutarakan:
“Orang-orang yang bekerja untuk ayahku selalu memanggilnya dengan sebutan sayyidi (tuanku). Ayah merasa keberatan dipanggil demikian. Karena itu, ia menyarankan, “Yang usianya lebih muda sebaiknya memanggil aku ammi al haji (paman haji) sedangkan yang lebih tua panggil saja aku al haji(pak haji).”
Setiap tahun ia memiliki tradisi untuk mengundang warga desa di hari Idul Fitri, Idul Adha, Asyura, 15 Sya’ban, peringatan Isra’ Mi’raj dan juga di bulan Ramadhan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an al Karim. Usai acara tersebut, ia menghidangkan makanan-makanan yang paling lazat untuk mereka.
Ibu Sayid Qutub adalah perempuan mulia yang berasal dari keluarga terpandang. Sebelum menikah dengan Haji Ibrahim, ia tinggal di Kairo. Kedua saudaranya adalah dosen di Universitas Al Azhar dan menduduki posisi terhormat di tengah masyarakat. Salah satu kriteria ibu Sayid Qutub yang terkenal adalah kegemarannya mendengarkan tilawah Al-Quran. Oleh karenanya, ia membawa Sayid Qutub ke Madrasah Al-Quran untuk mempelajari Al-Quran dan membaca di hadapannya. Ibu Sayid Qutub meninggal di desa Mushe pada tahun 1940 M
Keluarga Pejuang
Haji Qutub Ibrahim menikah dua kali. Yang pertama menghasilkan seorang anak perempuan dan yang kedua, tiga anak perempuan dan dua lelaki. Anak-anak Haji Ibrahim dari pernikahan kedua adalah:
1. Nafisah Qutb
Lahir di desa Mushe. Setelah dewasa, ia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Bakr bin Syafi’. Mereka kemudian dikaruniai dua putera bernama Raf’at dan ‘Azmi.
Saat Sayid Qutub dipenjara karena usahanya menegakkan Islam, Nafisah, Raf’at dan ‘Azmi juga dipenjara bersamanya. Mereka pun disiksa secara kejam di penjara. Taklama kemudian Nafisah dibebaskan, sedangkan Raf’at dan ‘Azmi tetap tinggal di dalamnya. Pemerintah Mesir meminta Raf’at untuk menentang Sayid Qutub. Bila Raf’at melakukannya, maka sebagai imbalannya ia akan dibebaskan dari penjara. Namun Raf’at menolaknya. Akhirnya ia disiksa lebih berat lagi hingga meninggal dunia. Adapun ‘Azmi, akhirnya dibebaskan juga setelah mendekam di penjara beberapa saat.
2. Aminah Qutb
Aminah lebih muda dari Sayid Qutub. Ia juga lahir di desa Mushe. Aminah begitu piawai dalam bidang sastra Arab dan pandai menciptakan syair-syair indah. Bersama dengan saudaranya, Sayid Qutub, ia menulis buku yang berjudul, Al Atyafu al-Arba’ah (Empat Spektrum).
Sayid Qutub menggambarkan saudara perempuannya ini sebagai berikut: “Ia adalah seorang pemudi yang cukup tenang. Ia begitu larut dalam kenangan masa lalu. Ia adalah seorang penyair yang kekayaan intelektualnya lebih unggul ketimbang kemampuan kesastraannya. Ia cukup sabar dalam menggapai pelbagai harapan dan obsesinya yang jauh dan mencengangkan melalui masa lalunya yang berat.”
Sebagaimana halnya saudara dan saudarinya yang lain dan karena kasus Sayid Qutub, Aminah juga dijebloskan/dimasukkan dalam penjara dan merasakan siksaan pedih. Selang beberapa saat, ia pun dibebaskan. Sejak itu, ia lebih tangguh daripada sebelumnya.
Pada tahun 1954 M. Aminah menikah dengan salah satu anggota Ikhwanul Muslimin yang bernama Kamal Assananiri. Pada suatu hari, suaminya dijebloskan dalam penjara. Kamal Assananiri berniat untuk menceraikan istrinya agar sang istri tidak mengkhawatirkan keadaan suaminya dan dapat menentukan masa depanya sendiri. Namun Aminah menolak keinginannya. Dengan cara demikianlah Aminah menunjukkan kesetiaannya terhadap sang suami.
Kamal Assananiri meninggal dunia di atas meja gantung pada tahun 1981 M. Selain suami dan saudranya, beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin yang turut syahid di tiang gantungan antara lain: Mahmud Abdul Latif, Yusuf Thala’at, Handawi Dawir, Ibrahim Ath Thayyib, Muhammad Farghali dan Abdul Qadir Audah.
Kepergian sang suami sangat memukul hati Aminah dan membuatnya larut dalam kesedihan. Ia mewarisi lebih dari 20 bait syair dari sang suami yang ia kumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul Rasail Ila as-Syahid (Surat untuk Sang Syahid)
3. Hamidah Qutb
Hamidah adalah anak paling bungsu. Ia tak kalah dengan kakaknya dalam bidang sastra. Ia juga bekerja sama dengan Sayid Qutub dalam menulis buku Al Atyafu al-Arba’ah. Banyak makalahnya yang ia tulis dan dicetak dalam dua majalah: “Al Muslimun” dan “Ikhwanul Muslimin”. Sebagaimana saudara dan saudarinya yang lain—karena jiwa reformisnya—ia dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun dan mengalami siksaan berat di dalamnya.
Setelah 6 tahun di penjara, ia dibebaskan karena amnesti pemerintah. Kemudian Hamidah menikah dengan Doktor Hamdi Mas’udi lalu mereka berhijrah ke Perancis. Selama di Perancis, Hamidah tidak lupa terhadap tujuan dan idealismenya. Karena itu, bersama Zainab Al Ghazali ia membentuk organisai yang bernama Akhwatul Muslimat.
4. Muhammad Qutub
Muhammad Qutub lahir di Mushe pada tahun 1919 M. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di kampung halaman lalu melanjutkannya di Kairo. Sejak kecil ia sudah pandai berbahasa Inggris. Di Universitas Al Azhar, ia belajar di Fakultas Ilmu Pendidikan. Setelah duduk di bangku kuliah selama 4 tahun dan mendapatkan gelar sarjananya, ia bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir.
Pada tahun 1954 M, bersama beberapa sahabatnya ia dituduh bekerja sama dengan Ikhwanul Muslimin, dan ia pun dimasukkan dalam penjara. Tidak ada hukuman lain yang dijatuhkan kepadanya. Akhirnya ia pun dibebaskan. Setelah bebas dari penjara, ia sibuk mengurus penerbitan Darun Nasyr. Untuk kedua kalinya pada tanggal 2/8/1958 ia dijebloskan dalam penjara dengan tuduhan mencetak buku saudaranya, Sayid Qutub. Ia mendapatkan siksaan yang berat dalam penjara sehingga banyak orang mengira ia telah gugur sebagai syahid.
Setelah tujuh tahun bersabar merasakan pelbagai siksaan yang cukup berat, ia dibebaskan dari penjara. Usai dibebaskan dari penjara, ia memilih untuk berhijrah ke Saudi Arabia. Di sana ia sibuk mengajar di Jami’atul Malik Abdul Aziz.
Muhammad Qutub menikah pada usia 50 tahun dan dikaruniai beberapa anak. Putranya yang pertama bernama Usamah. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini Muhammad Qutub masih hidup dan tinggal di Saudi Arabia, dan masih menjalani aktifitasnya di bidang mengajar dan menulis.
Muhammad Qutb adalah guru dari Osama Bin Laden saat menimba ilmu di Universitas Islam Kerajaan Arab Saudi. Muhammad Qutub memiliki banyak karya tulis di pelbagai bidang keagamaan, seperti: Al Insan Bainal Maddiyah wal Islam (Manusia dalam Pandangan Materialisme dan Islam), Syubahat Haulal Islam (Syubhat seputar Islam), Fin Nafs wal Mujtama’,Qabasat Minar Rasul, Ma’raqatu at-Taqalid, Manba’ut Tarbiah Al Islamiyah, Manba’ul Fannil Islami, Attathawur wa At Tsubat fil Hayatil Basyariyah. Karya-karya Muhammad Qutb telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan menghiasi dunia pustaka dunia islam.
Demikian sekilas potret cemerlang keluarga pejuang yang tertarbiyah dalam madrasah Ikhwanul Muslimin. Ketika saat ini, setelah berpuluh tahun mengalami masa tribulasi, Ikhwanul Muslimin menggapai kemenangan demi kemangan politik di Mesir bisa jadi dikarenakan mereka memang layak dan pantas untuk dimenangkan oleh Allah: dngan segala transaksi rabbani yang elah mereka lakukan dengan Allah. Semoga menginspirasi keluarga-keluarga tarbiyah di Indonesia. Khususnya Sumenep tercinta....
------------------------------
Menunggu fajar
Ujung Timur Pulau Madura: Dungkek.
Achmad Fawaid At-Tilmisani (http://geageo.blogspot.com/): Disarikan dari berbagai sumber rujukan.
Ulasan: Orang yang menolong agama Allah tidak akan hina di sisi Allah. Jadikan mereka sebagai contoh kepada kami di belakang.
No comments:
Post a Comment