Senin, 16 Juli 2012
Oleh Cahyadi Takariawan
Organisasi dakwah memerlukan pola Kepemimpinan Tingkat 5, dimana dalam diri sang pemimpin berpadu antara kerendahan hati dengan ambisi profesional.
Kepemipinan Tingkat 5 adalah istilah lama yang dikemukakan dalam buku Good to Great karya Jim Collins. Buku ini terbit tahun 2001, merupakan hasil penelitian terhadap 1.400 perusahaan yang setelah diseleksi hanya terpilih 28 untuk dilakukan penelitian.
Kepemimpinan tingkat 5 merupakan salah satu kunci lompatan perusahaan dari Good menjadi Great. Kepemimpinan tingkat 5 dapat dimaknai sebagai suatu tingkatan dalam memimpin yang tidak memerlukan jabatan serta tanpa harus berbuat banyak untuk mempengaruhi orang lain. Para pemimpin di tingkat ini mampu mewujudkan racikan paradoks antara kerendahan hati pribadi dan ambisi profesional. Mereka ambisius, namun ambisi itu ditujukan untuk kemajuan perusahaan, bukan untuk diri sendiri.
Pemimpin Tingkat 5 menjauhkan diri mereka dari kepentingan pribadi dan mengalokasikan energi dan ambisinya untuk membangun perusahaan. Bukan berarti Pemimpin Tingkat 5 tidak memiliki ambisi, justru terlihat bahwa Pemimpin Tingkat 5 memiliki ambisi dan kemauan yang besar, untuk memajukan dan mengembangkan organisasi. Dalam diri Pemimpin Tingkat 5, terdapat kombinasi yang unik antara ambisi dengan kerendahan hati.
Kepemimpinan Tingkat 5 dalam Perspektif Dakwah
Organisasi dakwah memerlukan pola Kepemimpinan Tingkat 5, dimana dalam diri sang pemimpin berpadu antara kerendahan hati dengan ambisi profesional. Kerendahan hati merupakan syarat agar organisasi dakwah bisa semakin diterima di masyarakat luas. Arogansi, kesombongan, sikap yang congkak merupakan penghalang sampainya dakwah ke masyarakat, dan berpotensi menjadi sikap antipati masyarakat terhadap pribadi dan organisasi.
Masyarakat Indonesia secara umum sangat menghargai kesantunan sikap. Masyarakat akan sangat senang jika diposisikan secara tepat dan proporsional, tidak dilecehkan, direndahkan, dihina atau diejek. Upaya memuliakan orang lain ini, memerlukan sikap kerendahan hati. Ini bukan sikap minder atau rendah diri yang negatif, namun merupakan sikap yang mulia dan elegan yang justru mengangkat pelakunya pada posisi yang terhormat.
Pada saat yang bersamaan, Pemimpin Tingkat 5 memiliki ambisi profesional. Mereka memiliki semangat yang kuat, ambisi yang hebat untuk memajukan organisasi dakwah. Berbagai cara dan upaya mereka tempuh agar bisa membawa organisasi dakwah dari baik (good) menjadi hebat (great). Berbagai manajemen diterapkan untuk mengembangkan organisasi dakwah mencapai visi dan tujuan-tujuannya.
Ambisi ini barangkali dalam bahasa dakwahnya disebut sebagai tumuhat. Bukan ambisi yang bersifat negatif, namun tumuhat dalam arti keinginan untuk maju yang kuat demi kemaslahatan dakwah dan umat. Ambisi yang negatif adalah apabila bersifat pribadi dan seluruh keinginan tersebut sekedar untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam perspektif dakwah, ciri ambisi ini bersifat pribadi atau ambisi untuk kebaikan organisasi, dapat dilihat dari ketaatan terhadap mekanisme organisasi.
Ambisi bersifat pribadi apabila tidak mengindahkan aturan dan mekanisme organisasi, Semua keinginan semata-mata merupakan refleksi dari visi dan keinginan pribadi, bukan bagian dari upaya untuk memajukan dan mengkonsolidasikan potensi organisasi dakwah.
Menyiapkan Diri Menuju Pemimpin Dakwah Tingkat 5
Apakah semua orang bisa menjadi Pemimpin Tingkat 5 ? Jawabannya pasti: Bisa! Dalam konteks dakwah, semua kader adalah pemimpin pada level masing-masing. Pemimpin bagi diri, keluarga dan masyarakat. Sebagian menempati amanah sebagai pemimpin di struktur organisasi tingkat desa, kecamatan, kebupaten, provinsi dan pusat.
Banyak kalangan meyakini bahwa kemampuan memimpin adalah sesuatu yang sifatnya “bawaan lahir”, namun sesungguhnya memimpin adalah sesuatu yang bisa dipelajari. Kuncinya ada pada sikap keterbukaan terhadap masukan dan kemauan untuk berubah. Tanpa dua hal tersebut, orang cenderung tidak akan pernah membangun sesuatu yang lebih besar dan lebih abadi. Orang-orang ini bekerja berdasarkan apa yang akan mereka dapatkan seperti popularitas, keuntungan, pujian, kekuasaan, dan lain sebagainya, bukan berdasarkan apa yang ingin mereka bangun, ciptakan, dan kontribusikan untuk kebaikan organisasi.
Pada era dakwah di era mu’assasi ini Kepemimpinan Tingkat 5 sangat dirasakan kebutuhannya. Kita memerlukan sebanyak mungkin pemimpin yang rendah hati namun memiliki ambisi yang sangat kuat untuk memajukan organisasi dakwah. Semoga kita semua bisa mencapainya.[]
http://www.pkspiyungan.org/2012/07/menuju-kepemimpinan-dakwah-tingkat-5.html
Kepemimpinan tingkat 5 merupakan salah satu kunci lompatan perusahaan dari Good menjadi Great. Kepemimpinan tingkat 5 dapat dimaknai sebagai suatu tingkatan dalam memimpin yang tidak memerlukan jabatan serta tanpa harus berbuat banyak untuk mempengaruhi orang lain. Para pemimpin di tingkat ini mampu mewujudkan racikan paradoks antara kerendahan hati pribadi dan ambisi profesional. Mereka ambisius, namun ambisi itu ditujukan untuk kemajuan perusahaan, bukan untuk diri sendiri.
Pemimpin Tingkat 5 menjauhkan diri mereka dari kepentingan pribadi dan mengalokasikan energi dan ambisinya untuk membangun perusahaan. Bukan berarti Pemimpin Tingkat 5 tidak memiliki ambisi, justru terlihat bahwa Pemimpin Tingkat 5 memiliki ambisi dan kemauan yang besar, untuk memajukan dan mengembangkan organisasi. Dalam diri Pemimpin Tingkat 5, terdapat kombinasi yang unik antara ambisi dengan kerendahan hati.
Kepemimpinan Tingkat 5 dalam Perspektif Dakwah
Organisasi dakwah memerlukan pola Kepemimpinan Tingkat 5, dimana dalam diri sang pemimpin berpadu antara kerendahan hati dengan ambisi profesional. Kerendahan hati merupakan syarat agar organisasi dakwah bisa semakin diterima di masyarakat luas. Arogansi, kesombongan, sikap yang congkak merupakan penghalang sampainya dakwah ke masyarakat, dan berpotensi menjadi sikap antipati masyarakat terhadap pribadi dan organisasi.
Masyarakat Indonesia secara umum sangat menghargai kesantunan sikap. Masyarakat akan sangat senang jika diposisikan secara tepat dan proporsional, tidak dilecehkan, direndahkan, dihina atau diejek. Upaya memuliakan orang lain ini, memerlukan sikap kerendahan hati. Ini bukan sikap minder atau rendah diri yang negatif, namun merupakan sikap yang mulia dan elegan yang justru mengangkat pelakunya pada posisi yang terhormat.
Pemimpin tidak akan terhina karena menampilkan sikap kerendahan hati, kesederhanaan dan kesantunan. Pemimpin tidak akan hilang wibawanya karena ia bersikap rendah hati, berbaur dengan masyarakat dan pihak yang dipimpin. Justru pemimpin akan dijauhi oleh anggota dan juga dibenci masyarakat luas, apabila menampakkan sikap-sikap arogan, anti kritik, tertutup, tidak bisa menerima masukan dan selalu menempatkan diri pada posisi menara gading yang tidak tersentuh oleh anggota organisasi.
Pada saat yang bersamaan, Pemimpin Tingkat 5 memiliki ambisi profesional. Mereka memiliki semangat yang kuat, ambisi yang hebat untuk memajukan organisasi dakwah. Berbagai cara dan upaya mereka tempuh agar bisa membawa organisasi dakwah dari baik (good) menjadi hebat (great). Berbagai manajemen diterapkan untuk mengembangkan organisasi dakwah mencapai visi dan tujuan-tujuannya.
Ambisi ini barangkali dalam bahasa dakwahnya disebut sebagai tumuhat. Bukan ambisi yang bersifat negatif, namun tumuhat dalam arti keinginan untuk maju yang kuat demi kemaslahatan dakwah dan umat. Ambisi yang negatif adalah apabila bersifat pribadi dan seluruh keinginan tersebut sekedar untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam perspektif dakwah, ciri ambisi ini bersifat pribadi atau ambisi untuk kebaikan organisasi, dapat dilihat dari ketaatan terhadap mekanisme organisasi.
Ambisi bersifat pribadi apabila tidak mengindahkan aturan dan mekanisme organisasi, Semua keinginan semata-mata merupakan refleksi dari visi dan keinginan pribadi, bukan bagian dari upaya untuk memajukan dan mengkonsolidasikan potensi organisasi dakwah.
Menyiapkan Diri Menuju Pemimpin Dakwah Tingkat 5
Apakah semua orang bisa menjadi Pemimpin Tingkat 5 ? Jawabannya pasti: Bisa! Dalam konteks dakwah, semua kader adalah pemimpin pada level masing-masing. Pemimpin bagi diri, keluarga dan masyarakat. Sebagian menempati amanah sebagai pemimpin di struktur organisasi tingkat desa, kecamatan, kebupaten, provinsi dan pusat.
Banyak kalangan meyakini bahwa kemampuan memimpin adalah sesuatu yang sifatnya “bawaan lahir”, namun sesungguhnya memimpin adalah sesuatu yang bisa dipelajari. Kuncinya ada pada sikap keterbukaan terhadap masukan dan kemauan untuk berubah. Tanpa dua hal tersebut, orang cenderung tidak akan pernah membangun sesuatu yang lebih besar dan lebih abadi. Orang-orang ini bekerja berdasarkan apa yang akan mereka dapatkan seperti popularitas, keuntungan, pujian, kekuasaan, dan lain sebagainya, bukan berdasarkan apa yang ingin mereka bangun, ciptakan, dan kontribusikan untuk kebaikan organisasi.
Orang-orang yang terbuka terhadap masukan dan memiliki kemauan untuk berubah, memiliki peluang untuk terus mengembangkan diri dan menjadi Pemimpin Tingkat 5. Evaluasi diri pribadi, kesadaran akan pengembangan diri, bimbingan para mentor, guru, orang-orang terdekat, juga pengalaman hidup yang hebat, akan dapat mengakselerasi kita menjadi Pemimpin Tingkat 5.
Pada era dakwah di era mu’assasi ini Kepemimpinan Tingkat 5 sangat dirasakan kebutuhannya. Kita memerlukan sebanyak mungkin pemimpin yang rendah hati namun memiliki ambisi yang sangat kuat untuk memajukan organisasi dakwah. Semoga kita semua bisa mencapainya.[]
http://www.pkspiyungan.org/2012/07/menuju-kepemimpinan-dakwah-tingkat-5.html
No comments:
Post a Comment